Jumat, 31 Juli 2009

JAMKESDA

Para Intelektual /pakar menilai bahwa kebijakan otonomi daerah dibawah Undang – undang Nomor 32 tahun 2004 merupakan salah satu kebijakan otonomi daerah yang baik yang pernah ada di Republik Indonesia. Undang-undang ini merupakan salah satu perwujudan refomasi yang telah melahirkan paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Yang sebelumnya diatur dalam UU No 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah di daerah yang mengandung azas dekonsentralisasi,desentralisasi dan pembantuan.
Dalam menyelenggarakan otonomi, Pemerintah Daerah mempunyai kewajiban:
a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. mewujudkan keadilan dan pemerataan;
e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
h. mengembangkan sistem jaminan sosial;
i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
k. melestarikan lingkungan hidup;
l. mengelola administrasi kependudukan;
m. melestarikan nilai sosial budaya;
n. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya;
o. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Disamping kewajiban tersebut, Pemerintah Daerah juga mempunyai fungsi menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana diatur Undang - undang, dengan menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan
Atas dasar itu, maka Pemerintah Kabupaten Pati telah mengeluarkan Peraturan Bupati Pati Nomor 15 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Daerah. Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan Jaminan kesehatan daerah yang selanjutnyadisebut Jamkesda adalah suatu sistem yang dilaksanakan dalam rangka menjamin pelayanan kesehatan yang layak,bermutu,dengan biaya efisien dan terjangkau serta diselenggarakan secara pra upaya di wilayah kabupaten pati. Dengan program ini diharapkan memberikan manfaat / faedah jaminan kesehatan bagi seluruh warga masyarakat yang secara ekonomi kurang mampu.
Secara umum tujuan program Jamkesda meliputi dua tujuan yakni :
a. Tujuan umum
Tujuan umum program jamkesda adalah memberi perlindungan kepada peserta dalam bentuk pemeliharaan kesehatan paripurna dengan sistem jaminan kesehatan yang terkendali baik mutu maupun biayanya
b. Tujuan khusus
Tujuan khusus program Jamkesda adalah :
1) tersedianya anggaran biaya dari pemerintah daerah sebagai dana pra upaya pengganti premi untuk menjamin pelayanan kesehatan bagi peserta yang tidak tercakup dalam program Jaminan Pelayanan Kesehatan Pemerintah.
2) terselenggaranya pelayanan kesehatan bagi peserta dengan sistem jaminan kesehatan dalam program Jamkesda.
3) terselenggranya mekanisme koordinasi, pembimbingan, pembinaan serta pengawasan program Jamkesda.
Sedangkan untuk pelaksanaan, mekanisme koordinasi, pembimbingan, pembinaan serta pengawasan program Jamkesda dibentuk Tim Pembina yang bertugas :
a. Melakukan kajian,monitoring,dan evaluasi pelaksanaan program jamkesda.
b. Merumuskan kebijakan dan pengembangan program dan mengusulkan kepada bupati.
c. Mengusulkan anggran jamkesda termasuk bantuan iuran bagi masyarakat miskin.
Tim pembina ini dalam melaksanakan tugas mempunyai fungsi merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan dan pengembangan jamkesda, serta mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan teknis penyelenggaraan Jamkesda.
Pengelolaan jaminan kesehatan daaerah di kabupaten Pati berdasarkan Peraturan Bupati Pati Nomor 15 Tahun 2008 di diselenggarakan oleh Bapel. Bapel sebagai pengelola Jamkesda wajib melakukan pengelolaan sistem kendali mutu pelayanan pembiayaan dan kepesertaan untuk mewujudkan pelayanan yang efektif,efisien dan bermutu berdasarkan ketentuan yang berlaku. Fasilitas pelayanan sebagaimana dimaksud diatas termasuk pemberian obat dan BHP,pemeriksaan penunjang diagnostik tindakan medik dan fasilitas pelayanan lain sesuai dengan paket pelayanan berdasarkan kebutuhan medis dan kemampuan program Jamkesda
Pelayanan kesehatan yang tidak ditanggung Jamkesda adalah
a. Pelayanan yang tidak sesuai prosedur
b. Pelayanan yang bertujuan komestik
c. Pelayanan untuk tujuan memperoleh keturunan
d. Pelayanan dalam rangka bencana alam
e. Pelayanan dalam rangka bakti sosial
f. Protesa alat bantu dengar,alat penyangga
g. Pelayanan lain diluar paker dasar yang ditentukan
h. Pelayanan dalam rangka penanggulangan bencana alam dan atau pelayanan sosial
Sumber biaya program Jamkesda adalah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Sumber biaya dari anggaran pendapatan dan belanjadaerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 digunakan sebagai pengganti premi/dana pra upaya yang besarnya per peserta per bulan ditentukan berdasar atas manfaat atau jenis pelayanan yang dibutuhkan atau menjadi hak peserta. Selain dari anggran pendapatan dan belanja daerah sumber biaya program jamkesda dapat berasal dari pemerintah,pemerintah provinsi,iuran peserta dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan yang berlaku

DAMPAK POSITIF JAMKESDA
Jamkesda adalah sebuah program yang dilaksanakan pemerintah daerah untuk mengantisipasi adanya warga yang tidak tercover / masuk dalam program jamkesmas yang dilaksanakan pemerintah pusat. Program ini cukup berhasil untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat terutama yang masuk dalam kategori keluarga miskin ( GAKIN )
Sayangnya, persoalan ketakterjaminan belum selesai juga karena berbagai program penjaminan layanan kesehatan dari pusat tersebut hingga kini pelaksanaannya masih dipenuhi korupsi dan manipulasi. Padahal hak asasi setiap orang secara umum terkerangkai sebagai kemerdekaan individu yang menacakup hak bebas berbicara, berorganisasi, berdemo, equality before the law, memiliki properti, political rights, di mana semua itu membutuhkan penegakan kesetaran politik dan pemerintah yang demokratis. Dan yang terakhir social rights di mana negara memberi jaminan status sosial minimum, standard pelayanan dan pemenuhan hidup, jaminan kesehatan, yang semuanya sebagai hak bagi warga negara untuk dapat hidup sesuai dengan standart yang berlaku di masyarakat.
Dampak Negatif
Salah akibat yang mungkin timbul apabila pemerintah daerah meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat adalah tersedotnya anggaran yang cukup signifikan pada bidang ini. Bisa juga, hal ini mempengaruhi alokasi anggaran pada bidang lain, seperti pendidikan, infrastruktur dan bidang sosial religius yang lain.
Dampak lain yang sering timbul dilapangan adalah keinginan semua warga untuk dapat menikmati fasilitas ini hingga menempuh segala cara dan upaya termasuk memanipulasi data tentang dirinya sendiri. Oleh karena itu Bupati Pati pernah mengeluarkan statement dan himbauan “ budaya malu menjadi miskin “ kepada segenap warga masyarakat.

ANALISA
Sebagai hak publik, pelayanan kesehatan bagi kebanyakan orang miskin dan paling miskin di negeri ini adalah sesuatu yang mahal. Tak hanya secara harfiah dalam arti biaya, namun mahal di sini juga bermakna “politis”. Yakni ketiadaan jaminan dari negara bagi publik—tak peduli berapapun kemampuan dia membayar—untuk menikmati pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat: tersedia (available), menyeluruh (comprehensive), berkesinambungan (continue), terpadu (integrated), wajar (appropriate), dapat diterima (acceptable), bermutu (quality), mudah dicapai (accessible), serta terjangkau (affordable)
Ini diperparah dengan praktik pungli oleh para oknum birokrat di puskesmas maupun rumah sakit pemerintah. Untuk layanan yang sejatinya merupakan hak mereka, pasien harus memberikan bayaran yang jumlahnya cukup besar bagi orang miskin dan kadang masih harus memberikan sogokan untuk mendapatkan layanan dengan kualitas lebih baik. Alhasil, status kesehatan masyarakat tidak meningkat secara nyata. Masyarakat pun cenderung berobat langsung ke rumah sakit (atau klinik swasta) sehingga biaya kesehatan tidak efisien.
Maka pada saat biaya kesehatan terus naik hingga mengakibatkan kemampuan publik miskin dan paling miskin merosot, pemerintah daerah harusnya menjadikan program Jamkesda ini menjadi lebih bermanfaat dan berdaya guna. Bukannya cenderung berupaya menambah porsi keterlibatan publik dalam pembiayaan pelayanan kesehatan, seraya mengurangi berbagai macam subsidi. Kebijakan privatisasi dan swastanisasi di sektor kesehatan makin gencar. Implementasinya bisa berupa perubahan status puskesmas dari bersubsidi ke puskesmas swakelola dan swadaya; ataupun metamorfosis status rumah sakit pemerintah dari perusahaan daerah menjadi perseroan terbatas.
Fakta ini menunjukkan masih kurang optimalnya komitmen pemerintah daerah terhadap pembangunana kesehatan publik. Pemda tampaknya malas untuk melakukan inovasi dan kreasi kebijakan untuk menyiasati keterbatasan dana. Masih belum disadari betapa masyarakat lapisan bawah mengandalkan puskesmas untuk pengobatan awal, maupun untuk membantu memberi rujukan berobat ke lembaga lebih tinggi jika tidak mampu ditangani puskesmas. Sayangnya, selama ini rendahnya anggaran oleh birokrasi dianggap sebagai pembenar untuk melayani masyarakat ala kadarnya.
Dari sini makin jelas bahwa komitmen untuk memberi prioritas—visi dan orientasi politik dari para elit—pada sektor yang terkait dengan hajat hidup orang banyak adalah kuncinya. Keterbatasan sumber daya yang tak terelakan membuat pemerintah harus mengembangkan prioritas sebuah pilihan kebijakan akan mendapatkan lebih banyak pendanaan ketimbang lainnya Yang jamak, otoritas pemerintah (birokrasi) dan kekuatan modal sektor bisnis sedemikian mendominasi dan bahkan menganulir kepentingan masyarakat. Pemerintah Daerah lebih sibuk untuk memfasilitasi investasi melalui manipulasi produk hukum kendati itu merugikan hak-hak sosial dan ekonomi warganya.
Dalam proses pergeseran ini, disadari atau tidak, ada upaya untuk mengurangi subsidi dan menswastakan puskesmas dan rumah sakit pemerintah. Ini bukan berarti pemerintah tak bicara soal pemenuhan kewajiban negara pemenuhan hak sosial, namun lebih karena konsepsi pemenuhan hak sosial adalah dengan memandirikan individu.
Dalam gagasan neo-liberal / kapirtalisme apa yang semula dianggap sebagai masalah sosial (kemiskinan, pengangguran, dsb) kemudian menjadi diarahkan untuk menjadi masalah individual. Solusinya bukanlah program sosial (seperti dalam welfare system), melainkan individual self-care (perawatan pribadi)”. Dalam perspektif ini, warga negara harus membeli sendiri. Di sini neoliberalisme bukan sebatas paradigma ekonomi, melainkan juga visi tentang manusia dan masyarakat. Ekonomi sudah pasti menjadi perangkat utamanya.


Rekomendasi
Sebagai tindaklanjut pelaksanaan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, membawa konsekuensi perubahan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2003 tentang Perangkat Daerah. Sebagaimana diketahui PP Nomor 8 Tahun 2003 merupakan pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam menata organisasi perangkat daerah, untuk menciptakan organisasi yang efisien, efektif, dan rasional sesuai dengan kebutuhan, dan kemampuan daerah masing-masing. Namun berdasarkan evaluasi selama ini, ternyata masih ditemukan permasalahan antara lain : a) Sebagian besar Provinsi dan Kabupaten/Kota belum melaksanakannya; b) Pembatasan jumlah; c) Nomenklatur yang tidak seragam; d) Perampingan yang cukup besar; d) Pengaturan perangkat lain belum jelas.
Mengantisipasi permasalahan tersebut, dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah mendatang, perlu ditingkatkan efisiensi dan efektivitasnya dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan Pemerintahan dan antar Pemerintahan Daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Untuk itu dalam pengorganisasiannya juga harus memperhatikan upaya pembangunan yang dilaksanakan oleh sektor lain. Pada hakekatnya keseluruhan upaya pembangunan yang ada ditujukan kepada upaya untuk mensejahterakan rakyat. Peningkatan derajat masyarakat merupakan salah satu upaya dimaksud, yang tentunya memerlukan pengorganisasian yang lebih terarah, efisien dan efektif serta mendapat dukungan lintas sektor, terutama yang terkait dengan pemenuhan standard hidup minimal, akses ke pelayanan kesehatan dan pendidikan, serta hak-hak sosial-ekonomi lainnya

POLITIK HUKUM



LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
( LPSK )
ANTARA ADA DAN TIADA











Disusun Oleh :
TEGUH BUDI YUWANA
NIM. 2009 – 02 - 027



BAB I
PENDAHULUAN


“ Sebanyak 15 korban Kasus Tanjung Priok yang menjadi saksi dalam persidangan datang meminta perlindungan ke Markas Besar Polri pada hari Selasa, 28 Oktober 2003. Mereka mengaku diintimidasi dan diteror sejumlah oknum aparat seusai mengikuti sidang kasus ini di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Dalam laporannya, beberapa diantara mereka mengaku sampai dianiaya, seperti yang dialami Husein Safe dan Ishaka. Para korban juga mengatakan, keluarga mereka dihalangi untuk menyaksikan sidang dengan terdakwa Mayor Jenderal TNI Sriyanto itu. Mereka hanya boleh mengikuti persidangan dari luar ruang sidang. Menyikapi pengaduan tersebut, Wakil Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Polisi Soenarko D.A. mengatakan akan menindaklanjuti laporan mereka. Dia juga berjanji melaporkan masalah ini ke Kepala Polri Jenderal Pol. Da`i Bachtiar ”[1].

Perlindungan saksi dalam sistem hukum nasional nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya hak-hak saksi maupun korban kejahatan memperoleh pengaturan dalam perundang-undangan nasional. Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan saksi dan korban kejahatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945, sebagai landasan konstitusional.
Ilustrasi diatas menggambarkan betapa pentingnya saksi dan korban kejahatan memperoleh perlindungan yang memadai selama menjalani proses peradilan. Bentuk perlindungan itu antara lain, kaitan antara penegakan hukum dengan perlindungan saksi dan korban, hak dan kewajiban, pengaturan saksi dan korban dalam hukum nasional.
Selama ini muncul pandangan yang menyebutkan bahwa pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana, maka pada saat itulah perlindungan terhadap saksi dan korban telah diberikan, padahal pendapat demikian tidak sepenuhnya benar. Dalam beberapa perundang-undang nasional permasalahan perlindungan korban kejahatan memang sudah diatur namun sifatnya masih parsial dan tidak berlaku secara umum untuk semua korban kejahatan.
Indonesia telah memiliki Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) yang diundangkan pada 11 Agustus 2006. Undang-Undang ini pada awalnya adalah amanat yang didasarkan Ketetapan (TAP) MPR No. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang menyatakan bahwa perlu adanya sebuah undang-undang yang mengatur tentang perlindungan saksi.
Namun secara formal, undang-undang ini dinilai masih tidak maksimal dalam mengatur perlindungan terhadap saksi dan korban karena masih terdapat bolong disana sini. Undang – undang Perlindungan Saksi dan Korban memiliki berbagai kelemahan baik dalam lingkup konsep perlindungan, tata cara perlindungan, hak saksi maupun korban sampai dengan masalah kelembagaan[2]. Banyaknya kelemahan yang ada di dalam Undang – undang Perlindungan Saksi dan Korban tersebut, sedikit banyak akan mempengaruhi implementasinya.












BAB II
PERUMUSAN MASALAH


Salah satu amanat dari Undang – undang Perlindungan Saksi dan Korban adalah pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK. Pengaturan mengenai lembaga ini dalam Undang – undang Perlindungan Saksi dan Korban juga terdapat persoalan. Meskipun pada bagian ketentuan umum Undang – undang Perlindungan Saksi dan Korban (Pasal 1) menyebutkan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Dan dalam pasal 12 menyebutkan LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Namun jika ditelusuri kembali, kenyataannya tugas dan kewenangan LPSK dalam Undang – undang Perlindungan Saksi dan Korban tidak diatur secara spesifik dalam ketentuan atau bab tersendiri. Apa yang dimaksud dengan tugas dan kewenangan LPSK terbatas dan tersebar dibeberapa pasal.
Adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri kehadiran LPSK juga akan menambah daftar panjang deretan lembaga atau komisi yang ada. Hal ini mengingat Indonesia telah memiliki banyak lembaga atau komisi yang bersifat independen. Dalam lima tahun terakhir, puluhan lembaga nonstruktural terbentuk. Lembaga-lembaga ini ada yang berbentuk komisi, komite, dewan, badan, atau lembaga. Beberapa lembaga nonstruktural yang tinggal hanya menyandang nama, tak efektif, atau tumpang tindih, kini terancam untuk diamputasi atau dilikuidasi.
Di sisi lain, seperti diakui Menneg PAN Taufiq Effendi, ada juga komisi-komisi yang masih telantar sampai beberapa bulan atau bahkan tahunan setelah terbentuk karena anggarannya sendiri belum jelas. Bahkan banyak dari anggota dan stafnya yang belum digaji. Kantor pun tak ada, berpindah-pindah atau menumpang. Untuk biaya operasional, kadang-kadang harus mengutang sana-sini, atau merogoh kocek sendiri[3].
Belajar dari pengalaman yang sudah ada, jika tidak disiapkan secara matang dan didukung penuh oleh semua pihak khususnya oleh pemerintah maka dikhawatirkan LPSK akan mengulang ketidakefektikan dari lembaga-lembaga mandiri yang telah terbentuk sebelumnya. Bukan tidak mungkin LPSK nantinya akan menjadi Lembaga Papan Nama.
Dari hal – hal diatas maka pada paper ini kami merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kemandirian LPSK dalam Undang – undang No 13 Tahun 2006 ?
2. Apa saja kendala – kendala yang dihadapi LPSK dalam melaksanakan tugasnya ?

















BAB III
PEMBAHASAN


Masalah perlindungan Korban dan Saksi di dalam proses peradilan pidana merupakan salah satu permasalahan yang menjadi perhatian dunia internasional. Hal ini dapat dilihat dengan dibahasnya masalah perlindungan korban kejahatan dalam Kongres PBB VII tahun 1985 tentang “The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders” di Milan, Italia : Disebutkan “Victims right should be perceived as an integral aspect of the total criminal justice system.” (Hak-hak Korban seharusnya menjadi bagian yang integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana)[4].
Adanya ketidakpercayaan terhadap kinerja beberapa institusi pemerintah seperti kepolisian, kejaksaan maupun kehakiman yang menyebabkan mengapa pilihan mandiri ini dikemukakan oleh para perumus UU. Hal ini juga terkait dengan trend yang ada, sehingga para perumus awal RUU PSK mendorong agar program perlindungan saksi dan korban disupervisi oleh lembaga baru di luar lembaga yang telah ada.
A. LPSK sebagai Lembaga Mandiri
Sebuah lembaga yang mandiri (biasanya disebut sebagai komisi independen), yakni organ negara (state organs) yang di idealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan baik Eksekutif, Legislatif maupun Judikatif, namun memiliki fungsi campuran antar ketiga cabang kekuasaan tersebut[5].
Dalam berbagai kepustakaan, yang dimaksud dengan independen adalah:
a) Berkaitan erat dengan pemberhentian anggota komisi yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam undang-undang ;
b) Sifat independen juga tercermin dari kepemimpinan yang kolektif, bukan hanya seorang pimpinan[6] ;
c) Kepemimpinan tidak dikuasai/mayoritas berasal dari partai politik tertentu ;
d) Masa jabatan pemimpin komisi tidak habis secara berrsamaan, tetapi bergantian (starggerd terms)[7].
Karena merupakan lembaga yang mandiri maka kemudian UU PSK tidak meletakkan struktur LPSK berada di bawah instansi manapun baik instansi pemerintah (eksekutif) maupun lembaga negara lainnya. Walaupun dari segi finansial lembaga ini didukung sepenuhnya dari keuangan negara. Pilihan UU terhadap model lembaga seperti ini tentunya menyerupai berbagai lembaga negara yang telah ada seperti: Komnas HAM, KPK, PPATK dan lain sebagainya.
Dari berbagai dokumen yang ada, keputusan untuk memilih model lembaga ini terkait dengan beberapa argumentasi. Pertama, keinginan untuk membuat lembaga yang secara khusus mengurusi masalah perlindungan saksi dan korban yang tidak berada di bawah institusi yang sudah ada. Kedua, karena institusi yang lainnya sudah memiliki beban tanggungjawab yang besar, oleh karena itu jangan sampai program perlindungan membebani lagi lembaga-lembaga tersebut.
B. KENDALA
1. Kendala Kelembagaan
Adalah kebiasaan yang dapat dimaklumi apablia sebuah Lembaga Negara berkedudukan di ibukota negara walaupun Undang – undang memberikan keleluasaan bagi LPSK untuk membentuk perwakilannya di daerah lainnya jika hal tersebut sesuai dengan kebutuhan dari LPSK. Pilihan UU untuk memberikan akses bagi LPSK untuk mendirikan lembaga perwakilan adalah pilihan yang tepat karena dari segi geografis wilayah republik Indonesia yang lumayan luas dan akses informasi maupun komunikasi yang terbatas baik antar wilayah maupun antar ibukota dengan wilayah lainnya. Lagi pula, kasus-kasus intimidasi terhadap saksi yang terjadi selama ini justru paling banyak di luar wilayah ibu kota Negara RI[8].
Walaupun idealnya LPSK ini ada ditiap wilayah Propinsi, namun kebutuhan untuk mendirikan perwakilan tersebut juga akan memberikan implikasi atas sumberdaya yang besar pula, baik dari segi pembiayaan, maupun penyiapan infrastruktur dan sumberdaya manusianya. Jangan sampai pendirian perwakilan tersebut justru malah kontraproduktif dengan tujuan dari LPSK misalnya makin membebani kerja-kerja yang justru menjadi prioritas LPSK karena problem administrasi dan lain sebagainya.
2. Kendala Kewenangan
Undang – undang No 13 Tahun 2006 dalam ketentuan umumnya telah menyatakan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Namun UU PSK tidak merinci tugas dan kewenangan dari LPSK tersebut lebih lanjut perumus UU kelihatannya tidak menjabarkan tugas dan kewenangan LPSK dalam suatu bagian atau bab tersendiri dalam UU No 13 tahun 2006 seperti peraturan lainnya, melainkan menyebarkan di seluruh UUProblem atas minimalnya kewenangan dari LPSK dalam prakteknya akan menyulitkan peranan-peranan dari LPSK.
Tugas dan kewenangan LPSK yang tersebar dalam UU No 13 Tahun 2006, yaitu: 1) Menerima permohonan Saksi dan/atau Korban untuk perlindungan (Pasal 29), 2)Memberikan keputusan pemberian perlindungan Saksi dan/atau Korban (Pasal 29), 3) Memberikan perlindungan kepada Saksi dan/atau Korban (Pasal 1), 4) Menghentikan program perlindungan Saksi dan/atau Korban (Pasal 32) 5) Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban (Pasal 34).
Jika dilihat dari tugas maupun kewenangan yang diberikan oleh UU PSK terhadap LPSK, secara umum terkesan sudah mencukupi. Namun jika diperhatikan dengan teliti, apalagi jika dikaitkan dengan mandat dari undang-undangnya maka kewenangan dari lembaga ini masih kurang memadai.
3. Kendala anggaran
Salah satu ruang lingkup dari pengeluaran adalah pengunaan atau pendirian “rumah aman” yang menyediakan akomodasi darurat jangka pendek (biasanya tidak lebih dari dua minggu, walaupun durasinya juga berbeda-beda, tergantung konteks kasus, dan tergantung kebutuhan), untuk para saksi maupun orang terkait dengan saksi (misalnya keluarga). Anggaran menggunakan rumah aman harus ada dalam program perlindungan. Apakah lembaga ingin membangun sendiri, atau menyewa dari pihak-pihak lainnya, adalah pilihan strategis dari lembaga.
Biaya lain yang akan dibutuhkan oleh lembaga perlindungan adalah berkenaan dengan biaya-biaya khusus yang dikeluarkan untuk perlindungan khusus yang diberikan kepada saksi. Beberapa hal yang mempengaruhi besarnya biaya tiap kasus yang dilindungi meliputi berbagai faktor, termasuk di dalamnya adalah: apakah saksi memiliki keluarga yang membutuhkan perlindungan, waktu yang dihabiskan oleh saksi di tempat tinggal sementara, standar kehidupan saksi, perubahan jenis ancaman yang mengancam saksi, dan hak saksi atas bantuan keuangan.
4. Kendala koordinasi
Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK dapat bekerja lama dengan instansi terkait sesuai dengan kewenangannya, wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Dengan memakai platform ini, maka lembaga perlindungan saksi dalam melakukan perlindungan terhadap saksi tentunya menyadari bahwa kerja-kerja lembaga akan melibatkan banyak dukungan dari instansi lain.
Sebagai contoh, berkaitan dengan intimidasi dan ancaman yang serius yang melibatkan relokasi saksi baik relokasi sementara maupun permanen, kerjasama antar-lembaga dengan program perlindungan saksi sangatlah penting baik dalam mengamankan perpindahan saksi dari rumah mereka dengan komunitas baru. Namun jika seseorang merupakan saksi yang berisiko terkena intimidasi yang serius yang mungkin juga akan mengancam jiwanya maupun keluarganya dan memiliki kemungkinan akan ada usaha dari pihak lain untuk melacak keberadaannya, maka sangatlah penting bila hubungan dengan lembaga-lembaga terkait dilakukan secara cepat dan aman.
Oleh karena itu pula maka hubungan antar lembaga tersebut harus di dukung dan difasilitasi oleh presiden, karena LPSK bertanggungjawab pula kepada Presiden. Posisi Presiden sebagai posisi yang sangat sentral dalam mendukung kerja LPSK sekaligus sebagai posisi yang membawahi masing-masing departemen atau lembaga terkait lainnya.














Bab IV
Kesimpulan


Dari paparan tentang lembaga perlindungan saksi dan korban seperti yang diatur dalam UU PSK, dapatlah disimpulkan beberapa hal yakni:
1) LPSK harusnya merupakan lembaga yang mandiri, namun pada prakteknya lembaga ini merupakan lembaga pendukung ( suporting ) bagi lembaga negara yang lain.

2) Secara umum kendala yang dihadapi adalah :
a. masalah anggaran ;
b. Kelembagaan ;
c. Kewenangan ;
d. Koordinasi antar lembaga negara
















Daftar Pustaka

1. Abdul Kholik, Kamus Istilah Anggaran, FITRA, Jakarta, 2002.
2. Denny Indrayana, Komisi Negara Independen, Evaluasi kekinian dan Tantangan Masa Depan, makalah diskusi terbatas “mencermati Problematika Lembaga negara, rekomendasi bagi pembentukan LPSK”, yang dilaksanakan oleh ICW dan Koalisi Perlindungan Saksi, Jakarta, 7 Maret 2007
3. Kompas, 30 April 2005, Inflasi Komisi, Inflasi Beban APBN
4. Supriyadi Widodo Eddyono, UU perlindungan Saksi Belum Progresif, ELSAM-Koalisi Perlindungan Saksi, 2006
5. UN Congress, Seventh Report, New York, 1986, hal. 147
6. Widodo dkk, Saksi dalam Ancaman; dokumentasi Kasus, ELSAM, 2004
7. William F. Funk dan Richard H. Seamon dalam Administratif Law: Example & Explanation, 2001, hlm 7
8. www. Liputan 6 .com

[1] www. Liputan 6 .com
[2] UU perlindungan Saksi Belum Progresif, Supriyadi Widodo Eddyono, ELSAM-Koalisi Perlindungan Saksi, 2006.

[3] Kompas, 30 April 2005, Inflasi Komisi, Inflasi Beban APBN
[4] UN Congress, Seventh Report, New York, 1986, hal. 147
[5] Denny Indrayana, makalah Diskusi Terbatas “Mencermati Problematika Lembaga negara, yang dilaksanakan oleh ICW dan Koalisi Perlindungan Saksi, Jakarta, 7 Maret 2007
[6] Abdul Kholik, Kamus Istilah Anggaran, FITRA, Jakarta, 2002
[7] William F. Funk dan Richard H. Seamon dalam Administratif Law: Example & Explanation, 2001, hlm 7
[8] Widodo dkk, Sanksi dalam Ancaman; dokumentasi Kasus, ELSAM, 2004
BAHAN BACAAN BUKU-BUKU
BARDA NAWAWI ARIEF

A. JUDUL BUKU


J U D U L

PENERBIT/KETERANGAN


1. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana

- PT Citra-Aditya Bakti Bandung
- Kencana Prenada Medya Group, Jkt.
- Edisi REVISI berjudul: “BUNGA RAMPAI KEBIJAKAN HK PIDANA (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru 1982/1983 – 2006/2007), terbitan Kencana Prenada.


2. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana


- PT Citra-Aditya Bakti Bandung



3. Kebijakan Legislatif dalam Penanggu-langan Kejahatan dengan Pidana Penjara


- Badan Penerbit UNDIP

- disertasi;


4. Perbandingan Hukum Pidana


PT RajaGrafindo Jakarta


5. Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana


PT RajaGrafindo Jakarta


6. Beberapa Masalah Perbandingan Hukum Pidana


PT RajaGrafindo Jakarta


7. Kapita Selekta Hukum Pidana


PT Citra-Aditya Bakti Bdg.



8. Pembaharuan Hk Pidana dalam perspektif kajian perbandingan


PT Citra-Aditya Bakti Bdg.



9. Tindak Pidana Mayantara : Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, 2006 (PT RajaGrafindo, Jakarta).


PT RajaGrafindo Jakarta



10. Kapita Selekta Hukum Pidana tentang SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU


BP UNDIP – 2007


11. Delik Agama dan Penghinaan Tuhan (Blasphemy) Di Indonesia dan Perban-dingan Beberapa Negara


BP UNDIP – 2007


12. Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hk Pidana (Pidato Pengukuhan Guru Besar)


BP UNDIP – 2007


14. RUU KUHP: Sebuah Restrukturisasi/ Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia


Pustaka Magister Semarang, 2007



15. PERKEMBANGAN ASAS-ASAS HUKUM PIDANA INDONESIA (Perspektif Perbandingan Hukum Pidana)


Pustaka Magister Semarang, 2007


16. Bunga Rampai Hk Pidana


Alumni, Bandung; disusun bersama Muladi


17. Teori dan Kebijakan Hk Pidana


Alumni, Bandung; disusun bersama Muladi


18. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan HP dalam Penanggulangan Kejahatan


Kencana Prenada Media Group, Jakarta;

19. Delik Kesusilaan: Pornografi Pornoaksi & Cyberporn Cybersex

Pustaka Magister Semarang, 2007


20. Pidana Mati dalam Perspektif Global dan Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia


Pustaka Magister Semarang, 2007


21. Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia


Pustaka Magister Semarang, 2007

22. Mediasi Penal
Pustaka Magister Semarang, 2008

22. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan (Perspektif Pembaharuan Hk Pidana dan Perbandingan Beberapa Negara)

Pustaka Magister Semarang, 2009



B. PANDUAN MENCARI TOPIK DAN SUMBER BAHAN BUKU BNA


NO.

J U D U L

SUMBER BAHAN


1.

.

Kebijakan Kriminal & Kebijakan Penal :

a. Kebijakan Kriminal (Criminal Policy).


b. Pencegahan & Penanggulangan Kejahatan

c. Kebijakan Penanggulangan Kjhtn dgn. Hk. Pid.

d. Kebijakan Penanggulangan Kjhtn. Dg Pidana Penjara.

e. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy).


f. Batas-batas Kemampuan Hk Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan.



a. Bab I Bunga Rampai Kebi-jakan Hk. Pidana

b. Bab IX Mslh. Penegakan Hk

c. Bab V Teori & Kebijakan Pidana

d. Bab II Kebijakan Legislatif


e. Bab II Bunga Rampai Kebijakan Hk. Pidana.

f. Bab IV Beberapa Aspek



2.

Pembaharuan Hukum Pidana :

Kebijakan Hukum Pidana;

Bebrp. Aspek Pengembangan Ilmu Hk. Pidana;

Peranan Pendidikan Tinggi Hkm. Dlm. proses pembaharuan HP di Indonesia;

Pokok-pokok pemikiran dlm. aturan umum Konsep Rancangan KUHP Baru

Beberapa Aspek Baru dlm. Konsep KUHP Baru

Sistem pemidanaan menurut Konsep KUHP Baru dan latar belakang pemikirannya;

Masalah Asas Legalitas

Pola pemidanaan menurut KUHP dan Konsep KUHP

Masalah Pidana Perampasan Kemerde-kaan dlm. Konsep KUHP Baru

Pidana penjara terbatas: suatu gagasan penggabungan antara pidana penjara dan pidana pengawasan.

Masalah pidana penjara pendek

Kebijakan legislatif dlm. rangka meng-efektifkan pidana penjara.

Reformasi hukum dan keadilan.

Perlindungan HAM dan korban dlm. pembaharuan hkm. Pidana Indonesia.

Pendekatan Komparatif Religius Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Dan Beberapa Pokok Pemikiran Dalam Konsep Kuhp Baru

Masalah Pidana Mati Dan Pidana Anak Dalam Konsep Ruu Kuhp Baru.

Kebijakan kriminalisasi dan dekriminalisasi dlm. Konsep KUHP Baru

Perkembangan delik kesusilaan dlm. Konsep KUHP Baru

Masalah agama dan keagamaan dlm. pembaharuan hukum pidana nasional.

Tindak Pidana Terhadap Agama Dan Kehidupan Beragama.

Masalah sihir dan santet dlm. perspektif pembaharuan hk. pidana di Indonesia.

Masalah Pidana Mati dalam Perspektif Pem-baruan Hukum Pidana di Indonesia



a. Bab II Bunga Rampai Ke-bijakan HP;
b. Bab VIII Bebrp. Aspek

c. Bab IX Bebrp. Aspek


d. Bab V Bunga Rampai


e. Bab VI Bunga Rampai

f. Bab VII Bunga Rampai


g. Bab I Kapsel HP

h. Bab VIII Bunga Rampai


i. Bab IX Bunga Rampai


j. Bab X Bunga Rampai



k. Bab III Kapsel

l. Bab XI Bunga Rampai


m. Bab I Mslh. Penegakan Hk (PH)

n. Bab VII Mslh. PH


o. Bab IV Kapsel



p. Mklh. Debat Publik


q. Bab XII Bunga Rampai


r. Bab XIII Bunga Rampai


s. Bab XIV Bunga Rampai


t. Mklh. Debat Publik


u. Bab XV Bunga Rampai


v. Pembaharuan HP dalam Pers-perktif Kajian Perbandingan



3.

Kebijakan Penanggulangan TP Korupsi :

a. Bbrp. Pk. Pemikiran Kebijakan Penanggulangan TPK;

b. Pokok-pokok pikiran kebijakan pembaharuan UU Pemberantasan Korupsi;

c. Bbrp. Catatan thd. kebijakan formulasi dlm. UU No. 31/1999;

d. Penayangan koruptor pada media TVRI ditinjau dari segi hukum pidana;

e. Kebijakan penanggulangan korupsi di Indonesia (Bbrp. Catatan thd. RUU Ttg. Perubahan UU No. 31/1999);

f. Efektivitas perangkat hukum dlm pe-nanggulangan TPK;

g. Perkembangan peraturan TPK di Indonesia

h. Gratifikasi dan Aturan Peralihan dalam UU No. 20/2001

i. Konsepsi Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana (Dalam kait-annya dengan TP Korupsi)

j. Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Dalam Pemberantasan Korupsi




a. Bab VI Bbrp. Aspek

b. Bab XIII Mslh. PH (Penegakan Hkm).

c. Bab XIV Mslh. PH


d. Bab VIII Bunga Rampai Hk. Pidana

e. Bab VI Bk. Baru (mklh. UNS)



f. Bab VII KAPSEL (Mklh. Gracia)


g. Bab VIII KAPSEL

h. Bab IX KAPSEL


i. Bab II Pembaharuan HP



j. Makalah pada Cirebon Lawyers Club (CLC), di Hotel Zamrud, Cirebon, 30 Juli 2005.


4.

Kebijakan Penanggulangan Kejahatan di bidang Perekonomian dan Perbankan :

Fungsionalisasi hk. pidana dalam penanggulangan kejahatan ekonomi;

Tindak Pidana Pasar Modal

Perlindungan Konsumen, Pencegahan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Kajian dari aspek kebijakan kriminal)

Sistem pemidanaan dalam bidang per-bankan.

Kebijakan Pemberantasan TPPU (Money Laundering) dgn. Hk. Pidana.

Beberapa catatan thd. Implementasi UU No. 15/2002 ttg. TPPU (Money Laundering).

Implementasi UU TPPU Rep. Ind. Dlm. menunjang Rencana Aksi ASEAN dlm. menghadapi Kejahatan Transnasional.

Kejahatan Perbankan Dalam Problematika Perkembangan Hukum Ekonomi dan Teknologi (Tinjauan Khusus Kejahatan Transfer Dana Elektronik)





a. Bab IX Bunga Rampai HP


b. Bab XII Mslh. PH

c. Bab XV Mslh. PH



d. Bab XI KAPSEL

e. Bab XVIII Mslh. PH


f. Bab XII KAPSEL


g. Bab XIII KAPSEL



h. Mklh. UMY

5.

Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Politik, HAM, dan Keamanan Negara

Eksistensi formal dan materiel dari UU Subversi.

Kebijakan penanggulangan kejahatan politik dg. hukum pidana.

Kajian Formulasi Kejahatan Perang Dalam Hukum Nasional Indonesia.





a. Bab XII Bbrp. Aspek

b. Bab XVI Mslh. PH


c. Mklh. UNIKA/STHM/BPHN


6.

Kebijakan Penanggulangan TPLH (Tindak Pidana Lingkungan Hidup):

TPLH menurut hk. positif di Indonesia;

Sistem pertanggungjawaban pidana thd. pelaku TPLH.





a. Bab X Mslh. PH

b. Bab XI Mslh. PH

7.

Kebijakan Penanggulangan TP Narkoba :

Kebijakan penanggulangan Narkoba dg. Hk. Pidana;

Efektivitas UU No. 5/1997 dan UU No. 22/1997 dlm upaya penanggulangan Narkoba (Ditinjau dari Kebijakan For-mulasi Hk. Pidana)




a. Bab XVII Mslh. PH


b. Bab X KAPSEL

8.

Kebijakan Penanggulangan TP Mayantara (Cyber Crime) :

Antisipasi penanggulangan “cyber crime” dg. hukum pidana;

Kebijakan kriminalisasi dan masalah jurisdiksi TP Mayantara;

Pengaturan cyber crime dg. hk. pidana (Bebrp. Catatan thd. Ketentuan Pidana dalam RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi).

Kejahatan Perbankan Dalam Problematika Perkembangan Hukum Ekonomi dan Teknologi (Tinjauan Khusus Kejahatan Transfer Dana Elektronik

Penanggulangan Cyber Crime: Perspektif Hukum Pidana

Kebijakan Penanggulangan Cyber Crime dan Cyber Sex (judul asli “Antisipasi Hukum Pidana dan Perlindungan Korban Cyber Crime di Bidang Kesusilaan”)

Kriminalisasi Kebebasan Pribadi dan /pornoaksi dalam perspektif kebijakan Hukum pidana

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA MENGHADAPI PERKEMBANGAN CYBER CRIME DI BIDANG KESUSILAAN (CYBERSEX/ CYBERPORN)





a. Bab XX Mslh. PH


b. Bab XX Sari Kuliah Per-bandingan Hk. Pidana.

c. Bab XVI KAPSEL



d. TP Mayantara




e. TP Mayantara.


f. Delik Kesusilaan




g. Delik Kesusilaan.



h. Delik Kesusilaan



9.

Kebijakan Perlindungan Anak & Korban :

Perlindungan hukum thd. anak dlm. proses peradilan;

Masalah perlindungan hukum bagi anak.

Perlindungan Korban Kejahatan dalam Proses Peradilan Pidana.

Perlindungan HAM dan Korban dalam Pembaharuan Hk. Pidana Indonesia.

Masalah pidana anak dlm. Konsep KUHP Baru.




a. Bab VII Bunga Rampai HP


b. Bab XI Bebrp. Aspek.

c. Bab V Bebrp. Aspek


d. Bab VII Mslh. PH


e. Makalah “debat publik”

10.

Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Korporasi:

Masalah Tindak Pidana Korporasi


Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.



a. Bab XIV KAPSEL


b. Bab XIII Sari Kuliah Per-bandingan HP.


11

Sistem Peradilan Pidana

Tugas Yuridis POLRI Dalam Berbagai Aspek Penegakan Hukum.

Kebijakan Legislatif Tentang Kewenangan Penyidikan Dalam Konteks Kebijakan Penegakan Hukum Pidana Integral

Pokok-Pokok Pikiran Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu

Kebijakan Pengembangan Peradilan

Kepolisian Dalam Perspektif Kebijakan Kriminal dan Sistem Peradilan Pidana

Sistem Peradilan Pidana Terpadu Dalam Kaitannya Dengan Pembaruan Kejaksaan

Sistem Peradilan Pidana Sebagai Faktor Kriminogen (Tinjauan Khusus Terhadap Kebijakan Perundangundangan Substantif)




a. Bab I Beberapa Aspek


b. Bab III Beberapa Aspek



c. Bab IV Mslh. Penegkn. Hk.



d. Bab V Mslh. Penegkn. Hk

e. Bab VI Mslh. Penegkn. Hk


f. Kapsel SPP Terpadu


g. Bab VII Teori & Kebjkn Pid.





C. DAFTAR ISI BEBERAPA BUKU BNA

Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana (edisi revisi)


Prakata

I

II

III


IV

V

VI

VII

VIII

Tugas Yuridis POLRI Dalam Berbagai Aspek Penegakan Hukum

Perlindungan HAM Dan Tindakan Kekerasan Dalam Penegakan Hukum Pidana

Kebijakan Legislatif Tentang Kewenangan Penyidikan Dalam Konteks Kebijakan Penegakan Hukum Pidana Integral

Pembaruan Kejaksaan dalam Konteks SPP Terpadu

SPP sebagai Faktor Kriminogen

Batas-Batas Kemampuan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan

Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses Peradilan Pidana

Beberapa Pokok Pemikiran Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi


IX

X


XI

XII

XIII

XIV

Program Pengembangan Sistem Hukum Nasional

Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia)

Peranan Pendidikan Tinggi Hukum Dalam Proses Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia

Tinjauan RUU RATIH (Rakyat Terlatih) Dari Aspek Kebijakan Hukum Pidana

Masalah Perlindungan Hukum Bagi Anak

Eksistensi Formal dan Materiel Dari UU Subversi


BUNGA RAMPAI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA (Edisi Revisi)


BAB I
KEBIJAKAN KRIMINAL (Criminal Policy)
A. Pengertian Kebijakan/Politik Kriminal
B. Hubungan Politik Kriminal dengan Politik Sosial
C. Kebijakan Integral dalam Penanggulangan Kejahatan

BAB II
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA (Penal Policy)
A. Pendahuluan
B. Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana
C. Masalah Pembaharuan Hukum Pidana
D. Pendekatan Kebijakan dan Pendekatan Nilai dalam Kebijakan Hukum Pidana

BAB III
UPAYA NON-PENAL DALAM KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN
BAB IV
BEBERAPA ASPEK HAK ASASI MANUSIA DITINJAU DARI SUDUT HUKUM PIDANA
A. Pendahuluan
B. HAM dalam Hukum Positif Indonesia
C. Beberapa Aspek HAM dari Sudut Hukum Pidana

BAB V
POKOK-POKOK PEMIKIRAN BEBERAPA ASPEK BARU DALAM ATURAN UMUM KONSEP RANCANGAN KUHP BARU
A. Pengantar
B. Pokok Pemikiran Tentang "Tindak Pidana"
C. Pokok Pemikiran Tentang "Pertanggungjawaban Pidana"
D. Pokok Pemikiran Tentang "Pidana dan Pemidanaan"

BAB VI
BEBERAPA ASPEK BARU DALAM KONSEP KUHP BARU
A. Pengantar
B. Beberapa Hal Baru dalam Konsep KUHP Baru

BAB VII
SISTEM PEMIDANAAN MENURUT KONSEP KUHP BARU DAN LATAR BELAKANG PEMIKIRANNYA
A. Pendahuluan
B. Masalah Jumlah atau Lamanya Ancaman Pidana
C. Masalah Peringanan dan Pemberatan Pidana
D. Sistem Perumusan dan Penerapan Pidana

BAB VIII
POLA PEMIDANAAN MENURUT KUHP DAN KONSEP KUHP
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Pola Pemidanaan
B. Pola Jenis Sanksi Pidana
C. Pola Lamanya (Berat Ringannya) Pidana
D. Pola Perumusan Pidana

BAB IX
MASALAH PIDANA PERAMPASAN KEMERDEKAAN DALAM KONSEP KUHP BARU
A. Pendahuluan
B. Jenis dan Modifikasi Pidana Perampasan Kemerdekaan
C. Lamanya Ancaman Pidana Perampasan Kemerdekaan (Masalah Minimum dan Maksimum)
D. Penetapan dan Perumusan Pidana Penjara
E. Kesimpulan

BAB X
PIDANA PENJARA TERBATAS : SUATU GAGASAN PENGGABUNGAN ANTARA PIDANA PENJARA DAN PIDANA PENGAWASAN
A. Pendahuluan
B. Pengertian dan Bentuk Pidana Gabungan Antara Pidana Penjara dan Pidana Pengawasan
C. Latar Belakang Gagasan Pidana Penjara Terbatas
D. Pendirian Pro dan Kontra terhadap Gagasan Pidana Gabungan
E. Penutup

BAB XI
KEBIJAKAN LEGISLATIF DALAM RANGKA MENGEFEKTIFKAN PIDANA PENJARA
A. Pendahuluan
B. Dasar Pembenaran Eksistensi Pidana Penjara Dilihat Dari Sudut Efektivitas Sanksi
C. Kebijakan Legislatif Dalam Rangka Mengefektifkan Pidana Penjara

BAB XII
KEBIJAKAN KRIMINALISASI DAN DEKRIMINALISASI DALAM KONSEP KUHP BARU
A. Pengantar
B. Kebijakan Sumber Bahan dan Pendekatan Proses Kriminalisasi dalam Penyusunan Konsep KUHP Baru
C. Kebijakan Penggolongan Delik dalam Konsep KUHP Baru
D. Kebijakan Penetapan Beberapa Delik Baru dalam Konsep
1. Kelompok "Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara" (Bab I)
2. Kelompok "Tindak Pidana Terhadap Ketertiban Umum" (Bab V)
3. Kelompok "Tindak Pidana Terhadap Penyelenggaraan Peradilan" (Bab VA)
4. Kelompok "Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama" (Bab VI)
5. Kelompok "Tindak Pidana Yang Membahayakan Keamanan Umum Bagi Orang, Barang dan Lingkungan Hidup" (Bab VII)
6. Kelompok "Tindak Pidana Kesusilaan" (Bab XIV)
7. Kelompok "Tindak Pidana Pemudahan" (Bab XXXI)

BAB XIII
PERKEMBANGAN DELIK KESUSILAAN DALAM KONSEP KUHP BARU
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Delik Kesusilaan
B. Delik Kesusilaan di dalam KUHP dan Perkembangannya di dalam Konsep
C. Perbandingan Delik Kesusilaan di Berbagai KUHP Asing
1. Ruang Lingkup Delik Kesusilaan
2. Posisi/Pengaturan Delik Perkosaan (Rape)
D. Kebijakan Penuntutan dalam Delik Kesusilaan

BAB XIV
MASALAH SIHIR ATAU SANTET DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
A. Pengantar
B. Pengaturan Hukum Terhadap Masalah Sihir (Masalah Gaib/Metafisika)
C. Kriminalisasi Perbuatan yang Berhubungan dengan Masalah Sihir atau Ilmu Gaib (Khususnya Masalah Santet/Tenung)
D. Kebijakan Kriminalisasi dan Perumusan Delik Santet dalam Konsep KUHP Baru

BAB XV
KEBIJAKAN KRIMINALISASI Kumpul Kebo dan Santet dALAM KONSEP RUU KUHP
A. Pengantar
B. Kebijakan Kriminalisasi KUMPUL KEBO dalam Konsep KUHP
C. Kebijakan Kriminalisasi Masalah Santet dalam Konsep RUU KUHP

Lampiran 1:
PERKEMBANGAN PERUMUSAN KUMPUL KEBO DALAM KONSEP KUHP

Lampiran 2 :
PERKEMBANGAN PERUMUSAN DELIK SANTET DALAM KONSEP KUHP

BAB XVI
MASALAH AGAMA DAN KEAGAMAAN DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL
A. Pengantar
B. Penggalian Nilai-nilai Hukum Agama dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
C. Delik Agama dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional

BAB XVII
PERKEMBANGAN/PERUBAHAN FORMULASI KONSEP RUU KUHP 2004-2005-2006/2007
A. Ruang Lingkup Perkembangan/Perubahan Formulasi
B. Perkembangan Perubahan Formulasi Pasal 1 (Asas Legalitas)
C. Perkembangan Perubahan Pasal 2 (Aturan Peralihan)
D. Perubahan Formulasi Ruang Berlakunya Hk Pidana Menurut Tempat
E. Perkembangan Formulasi Bentuk-Bentuk Tindak Pidana
F. Perkembangan/Perubahan Formulasi APP (Alasan Penghapus Pidana)
G. Perkembangan/Perubahan Bab III (Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan)
H. Perkembangan Formulasi Buku II (Tindak Pidana)

BAB XVIII
ANTISIPASI PENYUSUNAN Hukum Acara Pidana Yang Akan Datang (KUHAP Baru) DALAM MENYONGSONG BERLAKUNYA KONSEP KUHP BARU

A. Pendahuluan
B. Beberapa Permasalahan Hukum Acara Pidana Dalam Hubungannnya Dengan RUU KUHP BARU

1. Permasalahan hukum acara pidana yang berhubungan dengan masalah “tindak pidana” dalam RUU KUHP Baru

2. Permasalahan hukum acara pidana yang berhubungan dengan masalah perluasan subjek tindak pidana

3. Permasalahan hukum acara pidana yang berhubungan dengan masalah “pidana dan pemidanaan”

4. Permasalahan hukum acara pidana yang berhubungan dengan masalah “hapusnya kewenangan penuntutan”

C. Kebijakan Penyusunan Hukum Acara Pidana Yang Akan Datang (KUHAP Baru)

1. Ketentuan Hukum Acara Pidana Yang Berhubungan Dengan Masalah Tindak Pidana

2. Ketentuan Hukum Acara Pidana Yang Berhubungan Dengan Korporasi

3. Ketentuan Hukum Acara Pidana Yang Berhubungan Dengan Masalah Pidana dan Pemidanaan

4. Ketentuan Hukum Acara Pidana Yang Berhubungan Dengan Masalah Hapusnya Kewenangan Penuntutan


Lampiran : MATRIKS PERMASALAHAN.



3. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum pidana dalam Penanggulangan Kejahatan


Prakata

I

II

III


IV


V

VI

VII

VIII
Reformasi Hukum dan Keadilan

Pokok-pokok Pemikiran Supremasi Hukum (Dari Aspek Kajian Yuridis)

Pengembangan/pembangunan Ilmu Hukum Nasional dan Peningkatan Kualitas Penegakan Hukum

Pokok-pokok Pikiran Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu

Kebijakan Pengembangan Peradilan Dalam Mengatasi Masalah Mafia Peradilan

Kepolisian Dalam Perspektif Kebijakan Kriminal dan Sistem Peradilan Pidana

Perlindungan HAM dan Korban Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia

Hak/Kewajiban Perempuan dan Laki-laki Dalam Perspektif HAM

IX

X

XI

XII

XIII

XIV


XV


XVI

XVII

XVIII


XIX


XX

Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan

Tindak Pidana Lingkungan Hidup Menurut Hukum Positif di Indonesia

Sistem Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Tindak Pidana Pasar Modal

Pokok-pokok Pikiran Kebijakan Pembaharuan UU Pemberantasan Korupsi

Beberapa Catatan Terhadap Kebijakan Formulatif dalam UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Perlindungan Konsumen, Pencegahan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Kajian dari Aspek Kebijakan Kriminal)

Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Politik Dengan Hukum Pidana

Kebijakan Penanggulangan Narkoba Dengan Hukum Pidana

Kebijakan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Dengan Hukum Pidana

Kebijakan Formulasi UU-TPPU : Tantangan Penegakan Hukum Pemberantasan Money Laundering Di Indonesia

Antisipasi Penanggulangan ”Cyber Crime” Dengan Hukum Pidana


4. KAPITA SELEKTA HUKUM PIDANA


BAB

J U D U L

I

Masalah Asas Legalitas
A. Masalah “Retro Aktif”
B. Masalah “Aturan Peralihan”
C. Masalah Melemahnya/Bergesernya Asas Legalitas


II

Penggunaan Sanki Pidana dalam Hukum Administrasi
A. Pengertian Hukum Administrasi dan Hukum Pidana Administrasi
B. Kebijakan Hukum Pidana Administrasi dalam Perundang-undangan di Indonesia
Lampiran :
1. Ketentuan pidana dalam hukum administrasi
2. Regulatory Offences di Australia


III

Masalah Pidana Penjara Pendek
A. Kritik terhadap Pidana Penjara
B. Beberapa Pendapat/Kritik terhadap Pidana Penjara Pendek


IV

Pendekatan Komparatif Religius Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Dan Beberapa Pokok Pemikiran Dasar Dalam Konsep Kuhp Baru
A. Pendekatan Komparatif Religius Dalam Pembaharuan Hukum Pidana
B. Garis Besar Pemikiran Dalam Penyusunan Konsep KUHP


V

Pemberdayaan “Court Management” Dalam Rangka Meningkatkan Fungsi Mahkamah Agung (Kajian dari aspek SPP)


VI

Kebijakan Penanggulangan Korupsi di Indonesia (Beberapa Catatan terhadap RUU Tentang Perubahan UU No. 31/1999)
A. Pengantar
B. Ruang Lingkup Bahasan
C. Masalah Aturan Peralihan
D. Masalah Perubahan/Penambahan Tindak Pidana Korupsi
E. Masalah Perubahan Sanksi Pidana dan Sistem Pemi-danaan


VII

Efektivitas Perangkat Hukum Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi
Lampiran :
- International Code of Conduct for Public Officials

VIII

Perkembangan Peraturan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia


X

Efektivitas UU No. 5/1997 Dan UU No. 22/1997 Dalam Upaya Penanggulangan Narkoba (Ditinjau Dari Kebijakan Formulasi Hukum Pidana)
A. Pendahuluan
B. Kebijakan Hukum Pidana dalam UU Narkoba
C. Penutup

5. PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF KAJIAN PER-BANDINGAN


BAGIAN PERTAMA : MASALAH Asas-asas Hukum Pidana

BAB I

POKOK-POKOK PEMIKIRAN (IDE DASAR) ASAS-ASAS HUKUM PIDANA NASIONAL

A. Pengantar

B. Latar Belakang Pokok-pokok Pemikiran (Ide dasar) Konsep/RUU KUHP :
1. Dari Aspek Kebijakan Pembaharuan Hukum Nasional
2. Dari Aspek Kesatuan Sistem Hukum Pidana

C. Implementasi dan Re-evaluasi Pokok-Pokok Pemikiran (Ide Dasar) Dalam Konsep KUHP

D. Penutup

BAB II

KONSEPSI (AJARAN) SIFAT MELAWAN HUKUM Materiel dalam HUKUM PIDANA

A. Konsepsi (Ajaran) Sifat Melawan Hukum Materiel

B. Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam UU Tindak Pidana Korupsi

C. Penutup

BAB III

BERLAKUNYA HUKUM PIDANA NASIONAL TERHADAP ORANG ASING (Perlindungan Hukum Pidana Nasional terhadap Warga Negara Di Luar Negeri)

A. Berlakunya Hukum Pidana Indonesia terhadap Orang Asing

B. Perlindungan Hukum Pidana Nasional terhadap Warga Negara Di Luar Negeri Di Berbagai Negara.
1. KUHP Bulgaria
2. KUHP China
3. KUHP Latvia
4. KUHP Perancis
5. KUHP Romania

C. Berlakunya Hukum Pidana Indonesia terhadap Orang Asing Dalam Konsep RUU KUHP 2004

Bagian Kedua : MASALAH Tindak Pidana

BAB IV


TINDAK PIDANA TERHADAP ORANG TUA DAN KELUARGA DEKAT

A. Menurut KUHP dan Konsep RUU KUHP
B. Kajian Perbandingan Di Berbagai Negara
1. KUHP Bulgaria
2. KUHP Perancis
3. KUHP Korea
4. KUHP Jepang

Lampiran : Tabel Parenticide
BAB V

Perlindungan Profesi Guru dari aspek hukum pidana

A. Pengantar

B. Pengertian dan Ruang Lingkup “Perlindungan Profesi Guru”

C. Perlindungan Profesi Guru Dalam Arti Sempit (Perlindungan Individual) Dari Aspek Hukum Pidana

D. Perlindungan Profesi Guru Dalam Arti Luas Dari Aspek Hukum Pidana

Lampiran :
1. The Education Professional Standards Board, CODE OF ETHICS 704 KAR 20:680 (Adopted by the Education Professional Standards Board, May 1991)

2. Tindak Pidana oleh Guru

3. Sandingan RUU-Guru Dengan UU: 13/2003 (Ketenagakerjaan)


BAB VI

KUMPUL KEBO DALAM KONSEP (RUU) KUHP DAN PERBANDINGANNYA DENGAN BERBAGAI NEGARA

A. Pengantar
B. Tindak Pidana Kumpul Kebo Di Berbagai Negara
1. KUHP Rep. Federal Yugoslavia
2. KUHP Singapore Dan Malaysia
3. KUHP Brunei Darussalam
4. KUHP India
5. KUHP Fiji
6. KUHP China
7. KUHP Kanada
C. Penutup
BAB VII

Kejahatan Perbankan Dalam Problematika Perkembangan Hukum Ekonomi dan Teknologi (Tinjauan Khusus Kejahatan Transfer Dana Elektronik – Electronic Funds Transfer Crime)

A. Pengantar

B. Sistem Transfer Dana Elektronik dan Pengaruhnya Terhadap Kegiatan Perbankan/Perekonomian

C. Kejahatan Transfer Dana Elektronik (EFT Crime) :
Salah Satu Bentuk Hitech Crime

D. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Transfer Dana Elektronik (EFT Crime) Dengan Hukum Pidana
1. EFTA (Electronic Funds Transfer Act) 1978 Amerika Serikat
2. EFTA 322 of 1978 Negara Bagian Michigan, Amerika Serikat
3. ETF Crime Act No. 87 of 2000 Republik Trinidad & Tobago
4. Perundang-undangan dan RUU di Indonesia

BAB VIII












PENANGGULANGAN CYBER CRIME : PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

A. Pendahuluan

B. Aspek Kebijakan Kriminalisasi Atau Formulasi Tindak Pidana Mayantara (Cyber Crime)

C. Aspek Pertanggungjawaban Pidana Atau Pemidanaan

D. Aspek Jurisdiksi

E. Penutup

Lampiran :
1. Pengaturan Computer Crime Dalam KUHP Berbagai Negara
2. Pengaturan Computer Crime Dalam UU di Luar KUHP Berbagai Negara
BAB IX

KEBIJAKAN PENGATURAN DAN PERUMUSAN (FORMULASI) KEJAHATAN PERANG DALAM
HUKUM PIDANA NASIONAL

- Pengantar
A. Kebijakan Formulasi Kejahatan Perang dalam Hukum Positif Indonesia Selama Ini
1. Kebijakan Formulasi Pra Kemerdekaan
2. Kebijakan Formulasi Saat Ini

B. Kebijakan Formulasi Kejahatan Perang Di Masa Mendatang
1. Masalah Kriminalisasi dan Formulasi
2. Kajian Komparasi :
a. KUHP Albania
b. KUHP Armenia
c. KUHP Australia
d. KUHP Bulgaria
e. KUHP Estonia
f. KUHP Finlandia
g. KUHP Republik Demokrasi Jerman
h. KUHP Latvia
i. KUHP Macedonia
j. KUHP Perancis
k. KUHP Romania
l. KUHP Tajikistan
m. KUHP Yugoslavia
n. International Crimes Act 2003 Belanda

3. Kebijakan Formulasi Di Indonesia

Lampiran
1. Pengaturan War Crimes Di Beberapa Negara
2. WAR CRIMES (Pasal 8 Statuta Roma)

3. Perbandingan Formulasi Kejahatan Perang Menurut Statuta Roma 1998 juncto The ICC Act 2001 (Elements of Crimes) Dengan KUHP Australia

4. Formulasi War Crimes Dalam Konsep RUU KUHP 2004

Bagian Ketiga : Masalah Pidana

BAB X




BAB XI


SISTEM PEMIDANAAN DALAM KETENTUAN UMUM KONSEP RUU KUHP 2004

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Sistem Pemidanaan
B. Sistem Pemidanaan dalam Buku I RUU KUHP 2004


MASALAH PIDANA MATI DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. Pengantar

B. Eksistensi Pidana Mati Dalam Konsep RUU KUHP

C. Status/Posisi Pidana Mati Dalam Konsep RUU KUHP

D. Pelaksanaan Pidana Mati Menurut Konsep RUU KUHP

E. Penutup

Lampiran :

1. Resolusi Ecosoc 1996/15. Safeguards guaranteeing protection of the rights of those facing the death penalty

2. Commission on Human Rights resolution 1999/61.


BAB XII

PIDANA MATI UNTUK KORUPTOR (Kajian Formulasi Pidana Mati Dalam UU NO. 31/1999)

A. Pidana Mati : Suatu Langkah Kebijakan
B. Kelemahan dan Ketidakseriusan Formulasi Pidana Mati Dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi



TINDAK PIDANA MAYANTARA : Perkembangan Kajian Cybercrime di Indonesia


BAB I

ANTISIPASI PENANGGULANGAN ”CYBER CRIME” DENGAN HUKUM PIDANA (Seminar Nasional mengenai “Cyber Law”, STHB, Bandung, Hotel Grand Aquila, 9 April 2001)
A. Pendahuluan
B. Kebijakan Kriminal Di bidang “Cyber Crime”
C. Kebijakan Penanggulangan “Cyber Crime” Dengan Hukum Pidana


BAB II

KEBIJAKAN KRIMINALISASI DAN MASALAH JURISDIKSI TINDAK PIDANA MAYANTARA (Seminar Nasional RUU Teknologi Informasi (Cyber-Law) “Pemberdayaan Teknologi Informasi dalam Masyarakat Informasi”, Kerjasama Dirjen Postel DEPHUB dengan UNDIP, Gedung Ghradhika Bhakti Praja, Semarang, 26 Juli 2001)
Pengantar
Kebijakan Kriminalisasi
Masalah Jurisdiksi
Penutup

BAB III

PENGATURAN CYBER CRIME DENGAN HUKUM PIDANA : Beberapa Catatan Terhadap Ketentuan Pidana dalam RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (Seminar Nasional Cyber Law, diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FH-UNDIP, Semarang, 13 April 2002)
A. Pendahuluan
B. Kebijakan Kriminalisasi Cyber Crime dalam RUU-PTI
C. Masalah Jurisdiksi Dalam RUU-PTI


BAB IV

KEJAHATAN Perbankan DALAM Problematika Hukum Ekonomi dan Teknologi (Tinjauan Khusus Kejahatan Transfer Dana Elektronik), Seminar Nasional Problematika Perkembangan Hukum Ekonomi dan Teknologi, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 29 Mei 2004.
A. Pengantar
B. Sistem Transfer Dana Elektronik dan Pengaruhnya Terhadap Kegiatan Perbankan/Perekonomian
C. Kejahatan Transfer Dana Elektronik (EFT Crime) : Salah Satu Bentuk Kejahatan Teknologi Canggih (Hitech Crime)
D. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Transfer Dana Elektronik (EFT Crime) Dengan Hukum Pidana
1. EFTA (Electronic Funds Transfer Act) 1978 Amerika Serikat (UU Federal)
2. EFTA 322 of 1978 Negara Bagian Michigan, Amerika Serikat
3. The Electronic Transfer Of Funds Crime Act No. 87 of 2000 Republik Trinidad & Tobago
4. Perundang-undangan dan RUU Di Indonesia


BAB V

MASALAH PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA CYBER CRIME (Seminar “Problematika Hukum Cyber Crime di Indonesia”, FH UNAIR, 9 Oktober 2004).


BAB VI

PENANGGULANGAN CYBER CRIME : PERSPEKTIF HUKUM PIDANA (Makalah pada “Seminar Nasional Tentang Cybercrime”, diselenggarakan oleh Kemente-rian Komunikasi dan Informasi (KOMINFO), di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta, 7 Desember 2004).

A. Pendahuluan
B. ASPEK KEBIJAKAN KRIMINALISASI ATAU FORMULASI TINDAK PIDANA MAYANTARA (CYBER CRIME)
C. ASPEK PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATAU PEMIDANAAN
D. ASPEK JURISDIKSI
E. PENUTUP
Lampiran :
1. Pengaturan Computer Crime Dalam KUHP Berbagai Negara
2. Pengaturan Computer Crime Dalam UU di Luar KUHP Berbagai Negara

BAB VII

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN CYBER CRIME DAN CYBER SEX (Seminar “Kejahatan Seks melalui Cyber Crime dalam Perspektif Agama, Hukum, dan Perlindungan Korban”, FH UNSWAGATI, di Hotel Zamrud Cirebon, 20 Agustus 2005).
A. Cyber Crime – Cyber Sex : Sisi Gelap Dari Teknologi Maju
B. CYBER CRIME DI BIDANG KESUSILAAN
1. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Kesusilaan
2. Jenis dan Frekuensi Cyber Crime di Bidang Kesusilaan
3. Cybersex dan Akibat-akibatnya
C. KEBIJAKAN HUKUM PIDANA (PENAL POLICY) DALAM PENANGGULANGAN CYBER CRIME DI BIDANG KESUSILAAN


BAB VIII

TINDAK PIDANA INFORMATIKA DAN TELEMATIKA DALAM RUU KUHP
A. Perumusan Dalam RUU KUHP
B. Beberapa Catatan terhadap Perumusan Tindak Pidana Informatika dan Telematika di dalam RUU KUHP


RUU KUHP BARU SEBUAH RESTRUKTURISASI/REKONS-TRUKSI SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA

A. Pengertian Dan Ruang Lingkup Restrukturisasi/ Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana
B. Kondisi dan Perkembangan Hukum Pidana Positif di Indonesia
C. Latar Belakang Restrukturisasi/ Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Nasional
D. KONSTRUKSI SISTEM HUKUM PIDANA (SISTEM PEMIDANAAN) DALAM RUU KUHP 2004-2005
1. Sistematika Konsep RUU KUHP
2. Latar Belakang Orientasi Sistematika Konsep
3. Sistem Aturan Umum Pemidanaan
4. Perkembangan Formulasi Buku II (Tindak Pidana)


PERKEMBANGAN ASAS-ASAS HUKUM PIDANA INDONESIA (Perspektif Perbandingan Hukum Pidana)

A. Asas-asas Hukum Pidana Dalam KUHP Indonesia
B. Perkembangan Asas-asas Hukum Pidana Dalam Hukum Pidana Pos
1. Hakikat Masalah Asas Legalitas
2. Perkembangan asas legalitas sebagai asas ruang berlakunya hukum pidana
3. Perkembangan asas legalitas sebagai masalah sumber/dasar hukum
4. Perkembangan asas “tiada pertanggungjawaban pidana tanpa sifat melawan hukum” (The principle “No liability without unlawfulness”)
5. Perkembangan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (“No punishment without guilt” atau “No liability without blameworthiness”)
6. Perkembangan asas-asas ruang berlakunya hukum pidana menurut tempat
C. Perkembangan Asas-asas Hukum Pidana Dalam Konsep RUU KUHP
1. Pengantar
2. Perkembangan formulasi Asas/Landasan Legalitas
3. Masalah “Retro Aktif” dan Asas “Menerapkan Aturan yang Lebih Menguntungkan/Meringankan Dalam Hal Ada Perubahan UU”
4. Pengertian Juridis Tindak Pidana dan Asas Tiada Pertanggung-jawaban Pidana Tanpa Sifat Melawan Hukum (No liability without unlawfulness)
5. Perkembangan Formulasi Ruang Berlakunya Hk Pidana Menurut Tempat
6. Asas Kesalahan (Pertanggungjawaban Pidana)
7. Asas-asas/Prinsip-prinsip Yang Berhubungan dengan Pidana dan Pemidanaan

LAMPIRAN


PERKEMBANGAN SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIA

A. Pengertian Dan Ruang Lingkup Sistem Pemidanaan

B. PERKEMBANGAN SISTEM PEMIDANA-AN DALAM HUKUM PIDANA POSITIF
1. Pengertian/Batasan “Perkembangan Sistem Pemidanaan”
2. Perkembangan Aturan Umum dalam KUHP
3. Perkembangan Aturan Khusus di luar KUHP

C. PERKEMBANGAN SISTEM PEMIDANA-AN DALAM KONSEP RUU KUHP
1. Pengantar
2. Sistematika Ketentuan Umum Buku I Konsep
3. Latar Belakang Orientasi Sistematika Buku I Konsep
4. Sistem Pemidanaan Dalam Konsep
4.1. Masalah Tindak Pidana
a. Dasar Patut Dipidananya Perbuatan
b. Bentuk-bentuk Tindak Pidana
4.2. Masalah Pertanggungjawaban Pidana (Kesalahan)
4.3. Masalah Pemidanaan
a. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan
b. Ide-ide Dasar Sistem Pemidanaan
5. Ruang Berlakunya Hukum Pidana Menurut Konsep

D. PENUTUP

Lampiran 1 :
Sandingan Hukum Pidana Anak dalam KUHP dan UU No. 3/1997.

Lampiran 2 :
Pola Konsep KUHP tentang Bobot Tindak Pidana











DELIK AGAMA DAN BLASPHEMY


Kata Pengantar

I. PENDAHULUAN
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Delik Agama
B. Teori-teori Delik Agama

II. Delik Agama di Indonesia
A. Dalam KUHP dan UU No. 1 Pnps. 1965
B. Dalam UU Khusus di luar KUHP
C. Dalam Konsep KUHP
III. Delik Agama di Berbagai Negara
A. Penempatan/Pengaturan Delik Agama
B. Ruang Lingkup (Rincian) Delik Agama di Berbagai Negara
C. Delik Agama di Inggris

IV. Delik Penghinaan Tuhan (Blasphemy/Godslastering) di Berbagai Negara

V. PENUTUP
- Lampiran
- Daftar Pustaka





PENDEKATAN

BAB I
PENDAHULUAN

Ilmu hukum merupakan salah satu bidang hukum. Ilmu hukum tidak identik dengan hukum karena tidak setiap hasil dari penelitian dan pengembangan ilmu hukum dapat menjadi hukum. Untuk menjadi hukum, hasil dari penelitian clan pengembang4n ilmu hukum harus melalui pembentukan hukum. Sekalipun hasil ilmu hukum dituangkan ke dalam bentuk undang-undang, belum tentu hasil ilmu hukum itu menjadi hukum. Semua itu baru menjadi hukum apabila sesuai dengan keadilan yang dikandung masyarakat.
Peranan hukum dalam kehidupan kita sangat besar baik di masa transisi dalam rangka pembaharuan hukum maupun di masa dunia hukum stabil. Ilmu hukum memberi kemungkinan-kemungkinan baru, walaupun mungkin bukan jalan keluur yang paling baik. Bisa saja ilmu hukum tidak menyajikan data-data yang terhimpun lengkap dan tidak memuaskan bagi kekuasaan, tetapi ilmu hukum mempunyai mata pisaunya yakni metode pendekatannya.
Apakah ilmu hukum mempunyai metode pendekatannya?
Ilmu hukum mempunyai metode pendekatannya, yang khas atau unik. Keunikan atau kekhasan itu terbentuk karena hakekat hukum itu sendiri. Dalam kenyataan metode ilmu hukum masih belum jelas. Ilmu hukum masih meminjam dari ilmu-ilmu lain. Oleh sebab itu untuk memahami metode, struktur dan axiologi dari ilmu hukum 'perlu difahami dasar terdalam dari hukum, menukik pada hakekat ' hukum.
Untuk memahami metode, struktur dan axliologi ilmu hukum diperlukan dasar ontologis dari hukum. Dengan kata lain diperlukan suatu jawaban atas pertanyaan: Apakah hukum itu? Sekalipun jawaban itu hanya minimal. Pertanyaan itu sebenarnya tidak pernah mencapai jawaban yang final dan memuaskan.
Secara sederhana, hakekat hukum dapat diajukan sebagai per­tanyaan dalam bentuk apakah hukum terlihat o!eh mata hit:a sehari­hari dan apakah yang kita rasakan? Sehari-hari kita melihat hukum sebagai orang seperti terdakwa; terpidana, polisi, jaksa, hakim, pengacara, notaris, juru sita, panitera. Mereka dapat dilihat oleh mata kita karena merekalah yang secara langsung terlinat clan tercerap oleh panca indra kita. Kemudian hukum juga tampak sebagai lembaga-lembaga yang secara fisik terlihat sebagai gedung­gedung: gedung Pengadilan Negeri atau Tinggi, Mahkamah Agung, POLSEK, MABES POLRI, Kejaksaan, Kantor Notaris, Kantor Catatan Sipil clan lain-lain.
Bagi orang yang sedikit ierpelajar, hukum dapat dilihat sebagai peraturan-peraturan seperti: undang-undang, keputusan pengadilan atau yurisprudensi, peraturan pemerintah, peraturan daerah dan lain­lain. Secara konkret orang sering mengatakan hal ini bertentangan dengan pasal sekian ayat sekian dari undang-undang anu. Orang akan menyadari adanya suatu kekuatan undang-undang apabila terjadi adanya perubahan undang-undang yang mengganti suatu undang­undang lama yang terasa , berbeda dari peraturan sebelumnya. Terkadang orung tidak pernah membaca suatu undang-undang, tetapi ia menjadi tahu atau menyadari suatu peraturan karena ada yang melaksanakannya.
Lebih dari itu akan terasa juga hukum sebagai suatu yang hanya dapat dirasakan. Ketika seseorang diperkosa haknya oleh orang lain atau oleh aparat pemerintah misalnya rumahnya digusur, timbul dalam hatinya suatu amarah, suatu perasaan yang menuntut haknya, ia menuntut suatu keadilan. Demikian pula seorang terdakwa merasa tidak puas ketika diputuskan oleh hakim suatu hukuman yang tak seimbang dengan kesalahannya. Tetapi, bisa saja dua pihak yang bersengketa mengenai suatu perkara merasa puas karena putusan hakim begitu seimbang bagi kedua pihak. Di sini tampak hukum sebagai hal yang tak teraba ialah pengharapan akan suatu ke­adilan.
Dari hal di atas itu terlihat hukum sebagai perilaku atau aktivitas orang dan lembaga, sebagai kaidah-kaidah hukum, dan sebagai nilai-­nilai yakni keadilan. Inilah yang disebut sebagai tiga dimensi hukum
oleh Prof. Dr. Soerjono Soekanto, SH, MA (1983:13; 1986:1?,). Tiga dimensi itu ialah dimensi nilai, dimensi kaidah, dan dimensi perilaku. Apabila ketiga dimensi itu diuraikan secara teoretis maka:
Hukum mempunyai dimensi nilai. Nilai adalah ide atau gagasan tentang sesuatu yang bersifat abstrak. Nilai bisa berasal dari filsafat tertentu atau dari suatu pandangan hidup. Nilai bisa berupa kebaikan, kebenaran dan kebagusan; atau kebalikannya yakni keburukan, kesalahan dan kejelekan. Dalam hukum, nilai mempunyai sifat sebagai keharusan dan kebolehan. Kebolehan merupakan jalan tengah antara keharusan dan keadaan Was Sollen dan das Sein). Nilai keharusan dati kebolehan merupakan perwujudan dari nilai kebaikan. Kebaikan dikaji dalam filsafat bidang etika. Keharusan mengandung perintah dan sanksi sebab nilai keharusan berhubungan dengan kekuasaan. Nilai-nilai hukum terkandung dan termuat dalam kaidah­kaidah. Nilai-nilai ini menjadi obyek kajian filsafat hukum.
Hukum mempunyai dimensi kaidah. Kaidah berisi nilai-nilai tertentu. Kaidah merupakan pedoman atau petunjuk dalam berperilaku. Kaidah memberi tanda bagaimana dan ke mana kita harus berbuat. Kaidah bisa berwujud tertulis, tidak tertulis dan tercatat. Kaidah tertulis merupakan pranata hukum yang sengaja disusun, terorganisasikan dan dikaitkan dengan lembaga-lembaga hukum tertentu, dikuatkan dan dilegitimasikan dengan sesuatu kekuasaan atau kewibawaan tertentu. Kaidah tidak tertulis tumbuh dala:n kebiasaan dan pembiasaan dalam perilaku masyarakat, dapat merupakan penjabaran dari kaidah tertulis 2tau dapat pula tumbuh dalam pergaulan masyarakat secara langsung. Sedangkan kaidah tercatat merupakan rekaman dari kaidah tidak tertulis yang masih aktual atau yang sudah menyejarah. Kaidah tercatat harus sudah mendapat validitas secara ilmiah.
Kaidah-kaidah itu dapat diwujudkan berupa perilaku hukum berdimensi perilaku. Perilaku itu membentuk keteraturan yang tertib. Keteraturan itu terjadi karena tumbuh dalam kebersamaan yang disebut masyarakat. Sebagai kaidah, perilaku hukum mengandun:g nilai. Perilaku tersebut bisa merupakan pelaksanaan dari kaidah yang sudah ditentukan atau bisa juga menjadi hukum karena keterbiasaa.n dan pembiasaan. Perilaku hukum merupakan wujud paling konskekwen dari hukum.
Dimensi-dimensi perilaku, kaidah dan nilai tersebu: Japat ;uga disebut sebagai realitas hukum, norma hukum dan ide hukunu Tiga dimensi hukum ini hatnpir mendekati tiga wujud kebudayaan d Koenjaraningrat (1979:201) yakni
i) wujud kompleks ide-; gagasan, niiai-nilai, norma-nor:na, peraturan,
ii) wujud benda-bec; hasil karya manusia, dan
iii) kompleks aktivitas serta tindak berpola dari manusea dalam masyarakat. Ketiga wujud kebudaya itu tidak paralel dengan tiga dimensi hukum karena wujud nort dalam tiga wujud kebudayaan dimasukkan ke dalam wujud norma dalam wujud ide-ide. Di samping itu Linton (1962:34) membedak tiga konsep kebudayaan yakni yang materiil berupa hasil-hasil ker yang kinetis berupa tingkah laku yang nyata, tian yang psikolol berupa pengetahuan, sikap pandangan dan nilai-nilai yang dimil: bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat.
Dapat dikatakan bahwa hukum adalah kebudayaan. Seba€ kebudayaan, hukum adalah ciptaan manusia. Hukum merupak, hasil akalbudi dan fisik manusia atau hasil dari kesatuan badan d, rohani manusia. Dimensi ide-ide hukum berada atau terletak dala akalbudi . manusia yang bersifat abstrak dan rohaniah. Dimer perilaku hukum terletak dalam wujud fisik dari gerak manusia seN itu bersifat konkret dan badaniah. Sedangkan dimensi kaidah terlet~ antara kedua hai itu. Oleh sebab itulah maka dibedakan antara unsi yang bersifat idiel dan unsur yang bersifat riel (Soerjono Soekanto Purbatjaraka, 1982:14) atau bahwa hukum terikat pada tatanan ide dan tatanan kenyataan (Satjipto Rahardjo, 1982:16-20).
Tiga Wujud Kebudayaan Tiga Dimensi Sifat Dimensi Hukum Dua Tatanan
Koentjaraningrat Hukum Soerjono Soekanto Satjipto Rahardjo
Soerjono Soekanto Pumadi Purbatjaraka
Kompleks ide-ide, gagas­
an, nilai-nilai, norma- Dimensi Nilai Unsur Idiel Tatanan norrna, peraturan Ideal
Benda-benda hasil karya manusia Dimensikaidah Kompleks aktivitas serta
tindakan berpola dan ma- Dimensi perilaku Unsur riel Tatanan nusia dalam masyarakat
kenyataan
Terlihatlah ada keistimewaan dalam kaidah hukum karena di dalamnya sudah ada nilai hukum dan perilaku hukum. Kaidah hukum seperti itu pada dasarnya adalah hasil karya manusia. Hukum merupakan perwujudan dari arus pemikiran manusla sejak berabad-­abad dan di segala tempat oleh setiap manusia dan merupakan hasil dari perbuatan manusia di alam semesta ini. Sebab itu maka hukum itu ialah kebudayaan.
Sebagai ciptaan manusia, hukum bukan ciptaan dari suatu alam supranatural. Hukum bukan perbuatan alam gaib. Hukum dibuat dengan sengaja oleh manusia dan untuk kepentingan manusia sebab itu bersifat artifisial. Bisa saja hukum bersumber pada ajaran-ajaran agama atau Wahyu Tuhan yang tertulis dalam Kitab Suci, tetapi ajaran-ajaran agama atau Wahyu Tuhan itu dapat menjadi hukum apabila secara sadar dan sengaja memasuki hubungan-hubungan hukum yang berakibat hukum dengan legitimasi dan validasi ter­tentu.
Sebagai suata hal yang artifisial, hukum mengacu pada ruang dan waktu. Dalam suatu ruang dan waktu berlaku hukum dari ruang dan waktu tersebut. Dalam ruang yang lain berlaku hukum dari ruang dan waktu yang lain pula. Karena hukum bukanlah sesuatu yang kekal maka intensitas dan efektivitas hukum sangat tergantung dari sejauh mana hukum mengikuti perkembangan zaman. Dari struktur­nya, hukum terlihat sebagai hal yang cenderung mempertahankan status quo. Hukum berusaha untuk menghindar dari perubahan. Hukum menjaga stabilitas. Ketika seorang hakim mengadili dan memutuskan perkara maka ia berusaha untuk mene:apkan undang­undang setepat-tepatnya, lebih-lebih seorang jaksa berusaha untuk membela undang-undang itu dari penyelewengan. Sungguh mulia tujuannya. Hukum tidak menghendaki terjadinya anarki.
Tetapi, apabila perkembangan masyarakat berjalan ke arah yang lain dari apa yang tertuang dalam suatu kaidah hukum, apakah yang akan terjadi? Yang akan terjadi ialah proses tarik-menarik. Jika terjadi hal yang seperti itu maka yang berperan ialah kedaulatan rakyat dan kemampuan kekuasaan. Apabila yang terjadi ialah hal yang seperti itt; maka bLkan hanya antara hakin: dan tcrdakwa terhadapan, tetapi keadaannya sudah memasui:i tahap kenegaraan dan kebangsaan.
Apabila sejarah filsafat ditelusuri yang terjadi ialah pertemuan antara berbagai aliran. Untuk memahami kekayaan dan keragaman filsafat dapat dilakukan dengan menersngkan berbagai aliran filsafat.
Hal itu terlihat dalam karya Alisjahbana (1977). Terdapat aliran­aliran ontologis seperti: monoisme-dualisme-pluralisme tentang jumlah atau kuantitas dari kenyataan, spiritual isme-materialisme tentang sifat atau kualitas dari kenyataan, determinisme-indeterminisme dari segi berlakunya hukum sebab akibat, dan mekanisme-teleologis. Aliran-;aliran epistemologis yakni rasionalisme-empirisme-kritisme atau transendentalisme tentang asal atau sumber pengetahuan, realisme-' idealisme tentang hakekat pengetahuan. Disebutkan juga antara monoteisme-panteisme dalam teologi.
Di samping itu dalam memahami gejala manusia atau masyarakat dibedakan pula berbagai aliran seperti dalam karya Veeger (1985). Tentang hakekat masyarakat itu ada aliran yang kolektivistis, holistis dan organistis dan aliran yang individualistis, automistis dan ,mekanis­tis. Kemudian ada pula aliran yang menengahi kedua aliran.
Dalam pemikiran hukum selalu ada tegangan antara aliran yang berpendapat bahwa hukum selalu berlaku di mana-mana dan sepanjang waktu sebagaimana terlihat dalam aliran hukum alam .(natural ldw atau lex naturalis) dan aliran yang melihat hukum sebagai hukum yang berlaku pada suatu tempat dan waktu. Munculnya aliran historis dengan tokohnya yakni non Savigny terlihat sebagai suatu reaksi atas pengaruh aliran hukum alam. Begitupun aliran positivisme yuridis sebagaimana terlihat dalam pemikiran von Jhering muncul sebagai reaksi atas aliran historis. Formulasi kedua aliran itu terasa sebagai permasalahan antara bidang ada (das Sein) dan bidang harus (das ~ollen). Dalam pemikiran Hans Kelsen hukum menjadi bidang keharusan, sedangkan bagi Gustav Radbruch hukum mengandung unsur-unsur keduanya. Begitupun dalam aliran Realisme hukum titik perhatiannya lebih pada hukum yang aktual (law in action) dan bukan hukum yang teoretis dan normatif (law in books).
Aliran-aliran hukum itu tidak bisa dipisahkan dari pengaruh aliran-aliraci filsafat pada umurnnya. Aliran realisme hukum dari Amerika muncul sebagai pengaruh dari aliran pragmatisme yang dipelopori William James dan John Dewey. Demikianpun pemikiran Gustav Radbruch adalah pengaruh aliran neokantianisme. Aliran-­aliran hukum itu merupakan juga tegangan atau cennio dari muncul­nya beragam aliran antara monoisrne dan dualisme, rasionalistne dan empirisme, individualisme dan kolektivisme.
Dari pemikiran-pemikiran yang diuraikan selintas dari sejarah filsafat hukum itu, terlihat bahwa set alu terjadi perubahan minat baik yang mengidentikan ataupun yang tidak mengidentikan hukum dengan kaidah hukum dan keadilan. Selalu terjadi perubahan pandangan antara yang mementingkan hat yang abstrak dan hat yang konkrit. Hans Kelsen mengalihkan pemikiran hukum pada analisa norma, tetapi analisanya masih dalam tatanan abstrak yakni berhubungan dengan ide keadilan.
Pemikiran-pemikiran hukum itu sudah tentu tidak secara eksplisit menjawab pertanyaan tentang apakah hukum itu? Sebab itu jawaban­nya menjadi semakin tidak jelas. Lagi pula pemikiran-pemikiran para filsuf tergantung pada situasi dan kondisinya masing-masing. Yang dapat dipelajari dari pemikiran itu terlihat bahwa hakekat hukum para filsuf berkisar antara dualisme yakni hat ideal yakni roh, das Scllen, akal; dan hat riil yakni materi, das Sein, kemauan. Ada pula beberapa pemikiran yang hendak menjembatani dualisme tetapi hat itu tidak eksplisit. Dengan demikian diperlukan pemikiran hukum yang sifatnya monodualistis.
Apabila kita merenungkan wujud hukum terlihat bahwa wujud hukum bersifat monodualistis. Dalam kaidah hukum sudah tercermin adanya suatu nilai tertentu dan adanya suatu pola untuk berperilaku. Kaidah hukum adalah cermin dari kehidupan manusia. Dalam kaidah hukum pola-pola perilaku dan kandungan nilai tercermin sebagai­mana kita melihat wajah kita dalam cermin, sebab itu maka kaidah hukum disebut sebagai pedoman atau sebagai patokan.
Dalam kaidah hukum, nilai dan perilaku berintegrasi. Nilai akan mempengaruhi perilaku mana yang boleh atau tidak dan perilaku mana yaug harus atau tidak untuk dilakukan. Perilaku memberi corak pada nilai yang terkandune dalam suatu kaidah hukum. Dalam pembentukan :APABILA ilmu hukum dipengaruhi oleh ontologi hukum di satu sisi maka di sisi lain ilmu hukum dipengaruhi oleh corak dan War beiakang keilmuan. Ilmu hukum adalah ilmu. Konsep-konsep keilmuan akan mempengaruhi dan menentukan keluasan dan kedalaman ilmu hukum. Konsep keilmuan dalam.ilmu hukum dengan serta merta akan dipengaruhi oleh struktur dan perkembangan hukum. Pertanyaan "apakah hukum itu" akan mempengaruhi dan menentukan cara memandang dan memahami hukum.
Konsep ilmu yang ada pada waktu sekarang merupakan suatu reaksi atas keadaan di masa lalu di mana pengetahuan hatiya didasarkan atAs kcyakinan baik teologis maupun tahyul yang timbul dari mitologi. Di Yunani Kuno filsafat berkembang dari dongeng yang bersifat khayal. Dongeng itu ternyata membawa para filsuf untuk berpikir dan merenung. Muncullah para filsuf ' seperti Pannenides, Pitagoras, Socrates, Plato, Aristoteles dan lain-lain. ,
Reaksi selanjutnya tidak hanya atas •pengeiahuan mitos teologis,i tetapi juga atas pengetahuan metafisis. Hal itu terasa dalam pemikiran Auguste Comte dengan aliran positiVisme dalam sosiologi. Comte berhasil menafikan teologi dan metafisika dan menempatkan ilmu sebagai pengetahuan positif. Walaupun demikian reaksi ini i sudah dimulai dengan adanya usaha Aristoteles untuk menghimpun data misalnya berbagai konstitusi dari tiegara kota (polis) atau usaha untuk melakukan observasi atas binatang dan tumbuhan. Aristoteles memulai penggunaan met ode induksi.Pada zaman berikutnya Copernikus dan Galileo Galilai telah rnenggunakan metode observasi, atas gejala alam di ruang angkasa. Metode induksi dinyatakan dalam filsafat barat oleh Francis Bacon.; Dalam ilmu hukum, pengaruh Comte terasa dalam pemikiran aliran historis seperti von Savigny, Erlich, Puchta dan lain-lain. ! Sejak timbulnya filsafat Yunani, pemikiran hukum selalu bergerak
dalam lingkup persoalan-persoalan hukum alam yang terasa sampai j von Savigny. Hk alam pemikiran von Savigny pusat perhatiar. mengarah pada usaha untuk memahami hukum sebagai gejala masyarakat. Sedangkan dalam pemikiran Kelsen hukum dilihat sebagai gejala normatif. Kelsen lebih nmr.ganalisa kaidah dan kaidah hukum secara eksplisit uan intens.
Positivisme hukum muncul menjadi semacam penolakan atas hukum alam. Positivisme hukum berusaha untuk memurnikan ajarannya dari premis-premis hukum alam. Sebab itu maka ajarannya disebut reine rechtlehre. Tetapi, ajaran positivisme hukLm tidak seratus persen murni. Dalam ajarannya masih dapat ditemukan Grondnorm yang lebih bersifat filosofis.
Demikianpun dalam sosiologi hukum. Sosiologi hukum masih diramaikan dengan bahasan mengenai berbagai pemikiran dari para ahli hukum dan ahli sosiologi. Hal ini cenderung. menjadikan sosiologi hukum sebagai arena pentas perdebatan pemikira.n. Sosiologi hukum masih bersifat filosofis reflektif.
Jadi, dalam ilmu hukum pembahasan mengenai hukum sebagai hal yang rasional berupa ide-ide abstrak dan hukum sebagai hal yang nyata berupa fakta-fakta konkret masih tumpang tindih, tidak bisa dibedakan secara ketat dan keras: Pembedaan-pembedaan antara hukum alam dan sosiologi hukum sebagai perwvjudan antara fakta dan ideal hanyalah pembedaan intelektual yang sengaja dibuat manusia. Mengenai hal ini Ernest Casirer (1987:84-93) menerang­kannya dengan jelas. Dalam pemikiran Imannuel Kant pembedaan antara hal realitas dan kemungkinan merupakan suatu "keharusan". Membedakan, terutama pembedaan antara fakta dan ideal merupakan manifestasi dari pemikiran rene Descartes ter.tang 'clara et distincta'­nya. Jadi, pembedaan antara fakta dan ideal adalah suatu hal yang ideologis, bertujuan, bukan kenyataan itu sendiri. Pembedaan itu merupakan siasat intelektual dalart't rangka memperjelas pem­bahasan.
Ilmu hukum dapat difahami sebagai penerapan konsep-konsep ke­ilmuan dalam memahami dan menerangkan hukum. Dalam rangka mencapai usaha ini ada kemungkinan bahwa konsep-konsep keilmuan yang berasal dari ilmu alam diterapkan ke dalamnya. Dalam keadaan seperti itu sudah tentu obyek dari ilmu hukum }1arus dapat dicerap oleh pancaindra maausia. Dalam wujud seperti ini hukum dipandang sebagai gejala sosial. Dari segi ontologis, penyamaan hukum sebagai gejala sosial cenderung melihat hukum hanya sebagai hubungan sosial, tidak melihat hukum yang ada dalam hati nurani manusia yakni keadilan dan yang tercermin dalam kaidah-kaidah. Dari segi epistemologis, pandangan seperti itu menempatkan ilmu hukum menjadi apa yang disebut AF Chalmers (1983:2-6) sebagai induktivisme naif. Usaha ilmu hukum menjadi penghimpun fakta sebanyak-banyaknya dan hanya sekedar untuk menguatkan bukti-­bukti observasi.
DARI latar belakang di atas itu terlihat bahwa persoalan ilmu hukum yang mendasar ialah bahwa ilmu hukum terombang-ambing dalam berbagai arus aliran yang muncul baik dalam filsafat dan ilmu maupun dalam hukum sehingga ilmu hukum tidak bersifat integral. Ada aliran yang hanya memusatkan penyelidikannya pada kaidah­kaidah semata-mata seperti aliran positivisme hukum. Ada aliran yang melihat pada hakekat dan fungsi sosiologis dari hukum semata­mata seperti pada aliran sociological jurisprudence. Ada pula'aliran yang hanya memperbincangkan keadilan. seperti dalam aliran hukum alam. Parahnya, ilmu hukum sering diidentikan dengan salah satu aliran seperti dengan aliran positivisme hukum. Sebab itu ilmu hukum perlu mendapat sifat ititegralitasnya baik dari aspek ontologis, epistemologis maupun aksiologis. Dalam karangan ini pengarang berusaha untuk mencari suatu ilmu hukum yang integral dan otonom, mencari kemungkinan-kemungkinannya dan keterkaitannya dengan studi yang lain.
Pertama, ilmu hukum dikaitkan dengan filsafat dan filsafat hukum, kemudian dikaitkan juga dengan ilmu. Ilmu'hukum sering diidentikan dengan hukum itu sendiri. Mereka yang membahas hukum sering seakan-akan sedang berbincang-bincang tentang ilmu i,
hukum. Mereka tidak menyadari bahwa ilmu hukum tidak paralel dengan hukum. Ilmu hukum dapat mencuat berkembang lebih jauh I dari perkembangan hukum. Ilmu hukum mempunyai daya meramal­kan yakni melihat kemungkinan-kemungkinan dan pengharapan­pengharapan yang akan dan mungkin perlu di masa mendatang. i
Sedangkan perkembangan hukum berhenti pada masa lalu d an masa ' sekarang sebab itu ilmu hukum sering juga disebut ilmu hukumpositif. Sering pula ilmu hukum dianggap sebagai sekumpulan informasi tentang hukum. Pelajaran ilmu hukum sering hanya sebagai bekal berupa sejumlah definisi istilah-istilah hukum untuk mempelajari hukum lebih lanjut.
Kedua, ilmu hukum dikaitkan dengan ilmu sosial. Ilmu hukum sering lebih difahami sebagai ilmu yang menerapkan istilah-is;ilah dan metode ilmu sosial. Penelitian hukum menjadi sebagian dari penelitian sosial. Akhirnya dalam keadaan ekstrim ilmu hukum identik dengan ilmu sosial dan hukum itu sendiri identik dengan masyarakat. Hal ini sudah tentu mempengaruhi ruang lingkup ilmu hukum. Sering hasil penelitian yang tidak bersifat ilmu sosial tidak diakui sebagai suatu hasil penelitian ilmu hukum. Ilmu.' hukum sebagai ilmu sosial sering melalaikan pemahaman normatif clan humanistik.
Ketiga, ilmu hukum sering difahami sebagai ilmu yang ber­kecimpung dengan peraturan-peraturan. Penelitian hukum menjadi penafsiran atau penemuan hukum. Mereka terdampar ke dalam ke­sukaran karena penafsiran atau penemuan hukum bersifat praktikal, tidak berorientasi teoretis. Yang berhak menafsirkan hukum ialah hakim. Merekapun memiliki batas dalam melakukannya. Dalam hal ini diperlukan suatu penyusunan clan penafsiran kembali atas metode­metode penafsiran hukum atau penemuan hukum apabila akan dipergunakan sebagai suatu metode ilmu hukum.
Keempat, kita memerlukan suatu ilmu hukum yang otonom dan integral. Memahami hukum secara sebidang dan sebagian tidak mencukupi, tetapi ilmu hukum tidak perlu terjerumus ke dalam realisme (menggunakan metode dan struktur ilmu sosial) clan ticlak terjerumus pula ke. dalam idealisme (menggunakan metode dan struktur filsafat clan heurmenetik). Kita memerlukan suatu gambaran ilmu hukum yang meliputi aspek ontologis. epistemologis dan aksiologis.
Secara keseluruhan karangan ini berusaha untuk menempatkan ilmu hukum dalam pemahaman sebagai pengetahuan ilmu dan pengetahuan filsafat. Ilmu hukum berusaha untuk difahami dalam pengertian dasar sebagai sistem pengetahuan sehingga ilmu hukum l dapat dibebaskan dari kesalahfahaman yang memandang ilmu hukurii sebagai sistem hukum. Walaupun ilmu hukum bukan sistem hukum tetapi ilmu hukum mempunyai kekuatan dengan kemungkinannya menjadi suatu sumber hukum.
BAB II
HUBUNGAN ANTARA ILMU DAN FILSAFAT DENGAN ILMU HUKUM DAN FILSAFAT HUKUM
ANTARA ilmu dan filsafat di satu sisi dengan ilmu hukum dan filsafat hukum di sisi lain terdapat suatu hubungan yang bersifat timbal balik. Demikian juga antara ilmu hukum dan filsafat hukum, antara ilmu dengan ilmu hukum, antara filsafat dengan filsafat hukum, dan antara ilmu dengan filsafat hukum. Sebab itulah timbul per­tanyaan mengenai sifat dan makna hubungan-hubungan itu. Secara khusus timbul juga pertanyaan: apakah hubungan antara filsafat hukum dan ilmu hukum itu bersifat otonom ataukah tidak? Pertanyaan seperti itu akan terjadi apabila hal mendasar mengenai konsep ilmu dan filsafat difahami terlebih dahulu.
Filsafat dan Ilmu
ILMU dan filsafat adalah disiplin intelektual. Artinya, ilmu dan filsafat adalah hasil dari intelektual manusia: Walaupun data-data ilmu berasal dari kenyataan, pengolahannya mempergunakan ke­mampuan akalbudi atau intelektual. Tahap hipotesa, perumusan masalah, konklusi lebih merupakan kegiatan akalbudi. Dalam filsafat, refleksi merupakan suatu proses berpikir yang berspehculatif dan kritis. Jadi, ilmu dan filsafat adaIah disiplin intelektual karena tidak bisa dilepaskan daii kegiatan akalbudi yang berpikir dan merasa. .
Predikat disiplin dalam ilmu dan filsafat berau.i ilmu dan filsaf-.: itu memerlukan keteraturan. Wujud dari keteraturan ialah dengan digunakannya beberapa konsep klasifikasi dan sistematisasi. Klasifi­kasi atau sistematisasi selalu dan hampir selalu didasari oleh konsep tertentu yang sudah ada sebelumnya. Konsep-konsep itu bisa berupa p:r.d::ngzn hid>>p yang secara tidak sadar sudah tersirat dianut atau bisa berupa prinsip-prinsip pertama (prima principia) yang beTasal dari filsafat.
Keteraturan juga tampak dengan dipergunakannya metode yang disadari dan terencana. Metode dasar dari filsafat ialah refleksi atau perenungan yang mempergunakan pemikiran spekulatif dan kritis, dalam metode ilmu adanya observasi atau pengamatan.
Filsafat dan ilmu adalah hasil usaha manusia. Sebagai hasil usaha manusia, filsafat dan ilmu adalah suatu kebudayaan. Dalam wujud kebudayaan, filsafat dan iimu dapat dimasukkan ke dalam wujud yang abstrak berupa ide-ide atau gagasan-gagasan, tetapi sebenarnya bisa juga dimasukkan dalam wujud karya. Sebagai usaha manusia, filsafat dan ilmu dapat dimasukkan ke dalam empat unsur eksistensi manusiawi (The Liang Gie, 1979) dan dua unsur lainnya ialah seni dan agama. Sebagai hal yang eksistensial, filsafat dan ilmu menentt}kan tempat dan peranan manusia di tengah-tengah alam semesta. Keadaan seperti ini menentukan hakekat dari ilmu dan filsafat itu sendiri.
Filsafat dan ilmu adalah pengetahuan. Pengetahuan adalah sejumlah informasi tentang sesuatu hal dan merupakan suatu proses mental yang terdapat dalam diri manusia berupa rasa tahu. Rasa tahu ada pada setiap orang sehingga rasa tahu adalah hal yang esensial pada manusia. Kita bisa menyadari adanya manusia didasarkan oleh rasa ingin tahu (Poedjawijatna, 182:9). Pengetahuan mendasari filsafat dan ilmu, juga seni dan agama. Pengetahuan merupakan persatuan antara subyek dan obyek secara ekstrinsik maupun intrinsik, persati4an ini bersifat relasional (Pranarka, 1987:36). Pengetahuan beraneka ragam dan bervariasi. Yang membedakan antara satu pengetahuan dengan pengetahuan lainnya ialah kondisi dan intensitasnya. Pengetahuan dapat dibedakan antara pengetahuan indrawi, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filosofis dan pengetahuan ' religius (Gazalba,. 1973:21). Keempat pengetahuan itu secara konkrit cukup disebut pengetahuan (knowledge), ilmu (science), filsafat (philosophy) dan teologi (theology). Dalam hal ini seolah-olah ada pemisahan antara ilmu dan filsafat. Memang, tampaknya sejak awal seolah-olah ilmu dan filsafat dipisahkan. Pemisahan ilmu dan filsafat ini hanya bers;fat pem;sahan derajat (difference of degree) dan bukan pemisahan jenis (difference of kind) (Olson, 1967:16). Pemisahan ilmu dan filsafat ini mengalami perkembangan secara historis.
Pada mulanya pengetahuan filsafat dan ilmu merupakan satu kesatuan. Keduanya cukup disebut filsafat saja. Filsafat adalah studi tentang semua pengetahuan. Dalam zaman Renaissance filsafat disebut The Great Mother of the Sciencc Hampir semua ilmu yang ada sekarang dapat ditelusuri sampai pada filsafat Yunani Kuno. Da1am perkembangannya timbul sejenis pengetahuan yang secara langsung diperoleh dari fakta-fakta yang dihimpun lewat observasi. Perolehan pengetahuan mensyar2_tkan bahwa fakta-fakta harus dapat terukur secara kuantitatif dan fakta-fakta itu dapat dicerap minimal oleh pancaindra manusia. Pengetahuan tersebut disebut "science". Pada mulanya khusus mempelajari alam yang dapat diamati oleh mata kepala sendiri maupun dengan mempergunakan alat bantu seperti teleskop, mikroskop dan lain-lain, kemudian dengan munculnya positivisme Auguste Comte "science" `merambah pada gejala-gejala sosial. Gejala adanya science sebenarnya sudah terasa sejak Aristoteles menghimpun konstitusi dari berbagai polis (negara kota) di Yunani dan mengamati kehidupan binatang dan tumbuhan. Semakin majunya jenis pengetahuan science ini mengakibatkan banyak obyek dari filsafat berdiri sendiri dan memisahkan diri. Dan kini antara filsafat dan ilmu seolah-olah merupakan dua pengetahuan yang terpisah. Ilmu diidentikkan dengan pengetahuan empirik dan filsafat dengan pengetahuan rasional.
Kini terasa ada berbagai ketidakpuasan atas pengetahuan yang rasional semata-mata atau pengetahuan empirik s~-mata-mata. Sebab itu timbul berbagai usaha untuk mengintegrasikan ilmu dan filsafat.
Dalam ilmu-ilmu empirik, bantuan filsafat sangat diperlukan sebab i ilmu-ilmu itu ternyata terlalu fragmentaris, maEit. positif dan lain­lain. Demikianpun dalam filsafat, bantuan ilmu-ilmu sangat diperlukan, filsafat tak mungkin hanya bersifat ar ekulatif atau kritts sebagai permainan gagasan-gagasan, filsafat memerlukan data-data yang diperoleh dari ilmu-ilmu. Sebab itu diajukan metode interdisipliner dan multidisipliner.
Dengan demikian terjadi gejala relativitas dalam batas-batas antara ilmu dan filsafat. Walaupun demikiar. adanya batas-batas itu masih begitu k-uat. Para ahli masih memperdebatkan batas-batas antara ilmu dan filsafat. Ilmu dan filsafat masing masing memiliki otonomi dan batas-batasnya masih dapat ditarik.
Perbedaan yang sangat umum ialah bahwa filsafat lebih me­musatkan diri pada "pertanyaan-pertanyaan meridasar" atau basic or fundamental questions (Olson, 1967:17). Sedangkan ilmu lebth memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang bersifat faktual yzkni gejala-gejala yang dapat dialami dan diamati minimal oleh panca­indra manusia, pada gejala-gejala yang bersifat natural yakni gejala­gejala alamiah yang dapat terjadi secara berulang, teratur, terukur, dapat diramalkan dan terjadi secara kausal.
Filsafat lebih bersifat universal dan integral. Universal berarti bukan partikular. Filsafat tidak hanya memusatkan perhatian pada bagian-bagian tertentu dari kehidupan di alam semesta ini tetapi memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang menyeluruh. Berbeda dengan ilmu, ilmu lebih-memusatkan perhatian pada gejala-gejaia secara fragmentaris dan spesialistis. Artinya, ilmu hanya memper­hatikan hal atau bagian tertentu saja dari kenyataan. Sebab itu dalam ilmu tumbuh berbagai bidang yang masing-masing terkadang berjalan sendiri-sendiri. Dalam filsafat, keadaan seperti itu tidak terjadi. Memang, filsafat juga mengenal bidang-bidang tetapi se­benarnya bidang-bidang itu hanya susunan akademik dan intelektual belaka sebab di saat seorang filsuf merefleksikan kenyataan batas­batas atas bidang-bidang itu tidak membatasi. Sifat universalitas filsafat dapat berarti pula filsafat tidak hanya memandang gejala­gejala yang bersifat ekstrinsik tetapi juga memandang ke dalam diri secara intrinsik. Dapat dikatakan pula bahwa filsafat bersifat introspektif dan implikatif.
Ilmu tidak berwenang untuk meninjau hakekat dirinya sendiri atau struktur intrinsik. Bagi ilmu, suatu peninjauan atas hakekat ilmu ada di luar jangkauannya. Yang berwenang melihat hakekat ilmu ialah filsafat. Misalnya, apakah yang menjadi hakekat pengalaman yang mendasari ilmu? Jawaban atas pertanyaan ini menjadi wewenang filsafat, dalam ilmu jawabannya tidak relevan. Bagi ilmu, pengalaman cukup hanya berfungsi sebagai tolok ukur validitas.
Filsafat tidak dapat dilepaskan dari seiarahnya. Sebaliknya seorang ilmuwan tidak perlu tr.eng:,tahu: sejarah i:rr.uaya (Ecrter.s, 1987:25). Filsafat mempunyai aspek historis yang tinggi karena adanya kehendak untnk selalu mengacu pada koherensi. Sedangkan I6
ilmu lebih mementingkan kesetiaan pada kebenaran fakta yang dapat diukur minimal dengan pancaindra manusia sehingga aspek. historis­nya tidak begitu penting. Pemikiran filsafat lc,bih bersifat personal sehingga nilai filsafat dari seorang filsuf mempunyai derajat yang sama dengan filsafat dari filsuf lain. Filsafat bersifat mewakili zamannya sehingga nilai filsafat di zaman dahulu dapat mempunyai nilai yang sama dengan filsafat pada waktu sekarang. Mungkin saja berbeda dari segi kegunaannya tetapi masalah kegunaan tidak relevan dalam menilai filsafat. Masing-masing pemikiran fi'.safat mempunyai keunikannya. Sedangkan hasil keilmuan yang terbukti salah dapat dianggap tidak relevan lagi. Dalam ilmu alam (Berling, 1966:19) ilmuwan tidak akan kembali pada gambaran dunia yang sudah disalahkannya.
Ilmu tidak mempermasalahkan implikasi dari teori atau pe­nemuannya (Olson, 1967:68). Ilmu adalah suatu hal yang bebas nilai (value free). Pandangan ini tidak bersifat mutlak sebab ada yang beranggapan bahwa sebenarnya ilmu yang bebas nilai itu adalah juga tidak bebas nilai. Sebagaimana dikatakan di atas filsafat bersifat introspektif. Dalam filsafat, pertimbangan yang menyerempet pada hal-hal yang tidak menjadi pusat perhatiannya adalah perlu untuk mencapai universalitas. Filsafat menganggap perlu untuk memper­masalahkan implikasi dari hasil pemikirannya­
Dari beberapa hal yang membedakan antara ilmu clan filsafat di atas terlihat bahwa masih ada beberapa hal yang memisahkan ilmu clan filsafat. Masihada otonomi antara ilmu dan filsafat yang ` membedakan tetapi tidak memisahkan.
Konsep Filsafat dalam Filsafat Hukum
Filsafat hukum adalah filsafat tentang hukum. Hal ini berarti obyek dari filsafat hukum ialah hukum. Sebagai filsafat, filsafat hukum tunduk pada sifat-sifat, cara-cara dan tujuan-tujuan dari filsafat pada umumnya. Di samping itu hukum sebagai obyek dari filsafat hukum akan mempengaruhi filsafat hukum. Dengan demik~au secara timb: i balih antara filsafat Imku:n dan filsafat sal:-,;g b°r­lmbungan. Z-ang menjadi soal ialah mengenai kualitas d;:n l:ubuagan itu dalam kai:anny2 dengan konsep kefilsafatan.
Dapat dikatakan bahwa filsafat hukum merupakan bagian khusus dari filsafat pada umumnya. Ini berarti filsafat hukum hanya mempelajari "hukum" secara khusus. Artinya, hal-hal non-hukum
menjadi tidak relevan dalam penelitian filsafat. Penarikan ;;esimpulan seperti ini sebetulnya tidak begitu tepat. Seperti sudah dikatakan pada bagian yang lalu, filsafat itu bersifat introspektif atau memper­gunakan daya upaya introspektif. Artinya, filsafat tidak hanya men­jangkau kedalaman dan keluasan dari permasalahan yang dihadapi tetapi juga mempertanyakan peranan dari dirinya clan dari per­masalahan tersebut, filsafat mempertanyakan dari struktur dalam dirinya clan permasalahan yang dihadapinya. Filsafat juga bersifat universal. Filsafat memandang kehidupan secara menyeluruh, tidak memandang hanya bagian-bagian dari gejala kehidupan saja (secara partikular). Dengan demikian, filsafat dapat menukik pada persoalan lain yang relevan atau menerawang pada keseluruhan dalam per­jalanan reflektifnya, tidak hanya memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Dalam filsafat, pertimbangan-pertimbangan di, luar obyek adalah salah satu ciri khasnya. Filsafat tidak bersifat bebas nilai. Justru filsafat menimba nilai yang berasal dari hidup dan pemikiran. Sifat introspektif clan universal dari filsafat sesuai dengan sifat manusia yang memiliki hakekat dapat mertgambil jarak (distansi) tidak hanya pada hal-hal yang di luarnya tetapi juga pada dirinya sendiri. Jadi, filsafat hukum tidak semata-mata 'merefleksikan hukum hanya dari segi hukum, tetapi juga merefleksikan hukum pada kehidupan yang lebih luas, lebih mendalam dan lebih intens.
Filsafat hukum sebagai suatu filsafat yang khusus mempelajari hukum hanyalah suatu pembatasan akademik clan intelektual saja dalam usaha, studi clan bukan menunjukkan hakekat dari filsafat hukum itu sendiri.
Filsafat hukum memahami hukum secara spekulatif dan kritis. Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan pertanya­an-pertanyaan mengenai hakekat hukum. Pertanyaan-pertanyaan itu
menimbulkan rasa sangsi clan rasa terpesona atas suatu kebenaran yang dikandung dalam suatu persoalan. Apabila jawaban jawabannya diperoleh maka jawaban-jawuban ita disusln dalam suatu sistem pemikiran yang universal dan radikal. Secara kritis, filsafat hukum
berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudalv ada, melihai koherensi, ko:espondensi dan fungsinya. Filsafat hukum berusaha untuk memeriksa nilai dari p~-.rnyataan-pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai hukum.
Konsep Ilmu dalam Ilmu Hukum
Demikianpun halnya dengan ilmu hukum. Ilmu lmkum adalah ' ilmu tentang hukum. Obyeknya ialah hukum. Dengan demikian ; konsep ilmu juga melekat pada ilmu hukum. Ada beberapa persoalan konseptual yang berhubungan dengan ilmu hukum jika konsep ilmu melekat pada ilmu hukum.
Jika ilmu dalam ilmu hukum dilihat sebagai konsep ilmu dalam ilmu-ilmu alam maka ilmu hukum sama seperti ilmu-ilmu lainnya. Tetapi, jika konsep ilmu dalam ilmu hukum dipandang sebagai konsep yang khas yang berbeda dengan konsep ilmu pada ilmu-ilmu alam maka ilmu hukum menjadi suatu ilmu yang khas dan khusus. Penerapan metode ilmu-ilmu alam dalam ilmu hukum akan menempatkan ilmu hukum menjadi suatu ilmu yang dikategorikan sebagai ilmu sosial. Ilmu hukum akan menjadi suatu ilmu yang empiris dan positif. Ilmu hukum akan didasari oleh prinsip-prinsip masyarakat yang mendasari sosiologi dan antropologi. Hukum diidentikkan dengan masyarakat dan masyarakat diidentikkan dengan gejala alam. Pemahaman atas hukum dilakukan dengan mencari hukum-hukum yang tetap dari gejala atau peristiwa-peristiwa hukum. Metode penelitian dilakukan dengan mempergunakan observasi atau pengamatan. Dalam gejala hukum dianggap terjadi juga kausalitas.
Apabila ilmu hukum dipandang sebagai suatu ilmu yang khas yang bukan ilmu sosial maka ilmu hukum dapat dikategorikan sebagai ilmu tentang kaedah. Dalam hal ini pandangan Hans Kelsen mewarnai sifat ilmu hukum seperti itu. Teori Hans Kelsen disebut Reine Rechtlehre atau the Pure Theory of Law atau teori murni tentang hukum. Pandangan ini ingin melepaskan hukum dari pandangan-pandangan yang didasarkan nada prinsip kausalaas seperti yang diterapkaa dalan: ilmu-ilmu sosiologi, psicology dan lain-lain yang menerapkan metode ilmu alam.
Kedua kecenderangan itu terjadi karena perbedaan penggunaan istilah. Dalam kecenderungan pertama ilmu adalah salinan atau terjemahan dari "science" dalam bahasa Inggris yang sebenarnya
digunakan untuk ilmu-ilmu alam. Sedangkan dalam kecenderungan kedua ilmu adalah terjemahan dari istilah "wissenschaft" yang bukan saja untuk menamakan Naturwissenschaft tetapi juga untuk menamakan Geistenswissenschaft atau Kulturwissenschaft.
Dalam beberapa karya Prof. Dr. Soerjono Soekanto ilmu hukum meliputi ilmu tentang kaidah, ilmu tentang pengertian dan ilmu tentang kenyataan. Dalam pembagian ilmu hukum tersebut sudah terkandung adanya dua kecenderungan di atas.
Prof. Mr: Dr. L. J. van Apeldoorn dalam buku Pengantar Ilmu Hukum (1980) memasukkan ke dalam ilmu pengetahuan hukum yakni sosiologi hukum, sejaran hukum, dan perbandingan hukum. Begitupun E. Utrecht dalam bukan Pengantar Dalam Hukum Indonesia (1966) memasukkan sejarah hukum, sosiologi hukum, perbandingan hukum dan pelajaran hukum umum sebagai cabang­cabang ilmu hukum bantu dari ilmu hukum positif. Sedangkan dalam buku panduan mahasiswa susunan JB Daliyo, SH cs berjudul Pengantar Ilmu Hukum ke dalam ilmu-ilmu pembantu bagi flinu hukum dimasukkan sejarah hukum, sosiologi hukum, perbandingan hukum, antropclogi hukum, psikologi hukum, politik hukum dan filsafat hukum. Sedangkan Prof. Dr. DHM Meuwissen (dalam artikel yang diterjemahkan oleh B. Arief Sidarta) yang berjudul Ilmu Hukum membagi jenis jenis ilmu hukum ke dalam ilmu hukum dogmatik dan ilmu hukum empiris.
Perlu pula dicatat bahwa van Apeldoorn (1980:409) menyebut­kan pula adanya ilmu pengetahuan hukum dogmatis atau sistematis. iJtrecht sendiri hanya menyebutkan cabang-cabang tersebut
hanya sebagai ilmu hukum positif.
Malahan dalam buku paduan dimasukkan juga politik hukum dan filsafat hukum. Jadi, dapat dikatakan bahwa konsep ilmu dalam ilmu hukum yang banyak dianut ialah konsep ilmu dalam arti luas, sebagai salinan atau terjemahan dari "wissenschaft".
Konsep ilmu dalam. Ilmu hukum juga mempunyai sifat dan cakupan yang bersifat praktikal dan teoretikal. Sifat praktikal .
terbawa oleh hakekat dan kondisi hukum karena huknm itu di satu sisi seperti selalu mengarah pada prakrek dan diarahkan oleh perkembangan dalam situasi dalam praktek. Sifat teoretikal terbawa oleh hakekat dari ilmu yang memerlukan logika dan abstraksi dalam perumusannya.
CA van Peursen (1990:40) memasukkan ilmu hukum ke dalam ilmu-ilmu terapan dan ilmu-ilmu praktis. Dalam ilmu yang tergolong ke dalam ilmu-ilmu terapan dan praktis ini terkandung penilaian dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan di samping pe­nilaian sahih atau tidak dan benar atau salah. Tetapi, dengan penggolongan ini tidak dengan sendirinya ilmu hukum tidak termasuk ke dalam ilmu murni.
Harsojo (1977:47) memasukkan ke dalam ilmu murni yakni fisika, astronomi, matematika, kimia, sosiologi, ilmu politik, yuris­prudensi, zoologi, botani, geologi, sejarah, ekonomi; ke dalam ilmu terapan termasuk bangun karya, navigasi, akuntansi, farmasi, ilmu obat-obatan, politik, hukum, peternakan, pertanian, bangun karya minyak, jurnalistik, tata niaga, administrasi. diplomasi. Dalam pembedaan ini terlihat bahwa bidang yang tergolong ke dalam ilmu 'terapan dapat diacu pada bidang ilmu murni.

- Pembedaan antara ilmu murni dan ilmu terapan tidak mutlak. ,.
bersifat nisbi (van Melsen, 1985:50-51). Judi. sebenarnya tidaklah begitu jelas apakah suatu ilmu itu murni atau tidak. Yang mem­bedakan kemurnian dan kepraktisan suatu ilmu ialah dari segi `"manfaat"-nya (Kleden, 1987:24-25), bukan dari segi hakekatnya,
i kimia dibedakan dari ilmu farmasi dan ilmu obat-obatan karena satu pemanfaatannya- tetapi- masalah teoretisasi struktur kimianya tetap sama.
Dengan adanya relativitas pembedaan antara ilmu murni dan ilmu terapan maka ilmu hukum tidak mutlak dimasukkan ke dalam ilmu terapan. Sebenarnya bukanlah masalah penggolongan ilmu hukum ke dalam ilmu terapan dan atau ke dalam ilmu murni yang terpenting, tetapi ialah bahwa ilmu hukum mempunyai sifat praktikal dan teoretikal. Ilmu hukum dengan metode Fener.laan l:u'.cs.^.Zr.ya tembuh dalam praktek hukum. Dalam praktek hukum pendekatannya
lebih fungsional dan pragmatis. Praktek hukum lebih memerlukar. pendekatan yang langsung pada sasaran.
Filsafat Hukum, Ilmu Hukum dan Hukum
Keterkaitan filsafat hukum dan ilmu hukum dengan hukum ialah bahwa filsafat hukum dan ilmu hukum dapat menjadi salah satu sumber hukum (cummunis opinio doctorum). Memang, tidak semua hasil filsafat hukum dan ilmu hukum dapat menjadi sumber hukum. Hanya hasil filsafat hukum dan ilmu hukum yang hampir diakui oleh semua sarjana hukumlah yang dapat menjadi sumber hukum.
Sumber hukum (source of law) dapat dibedakan antara sumber hukum material dan formal. Sumber hukum material berarti hukum bersumber pada isi sedangkan sumber formal berarti hukum diperoleh,, dari kekuatan dan validitasnya (Paton, 1951:140). Jika filsafat hukum', dan ilmu hukum ditempatkan ke dalam kedua sumber tersebut maka' filsafat hukum merupakan sumber material dan ilmu hukum merupa­kan sumber formal. Dari pendapat George Whitecross Paton di atas secara jelasnya sumber formal itu terjadi karena legitimasi (untuk sumber undang-undang, hukum kebiasaaq,,, traktat) dan validitas (untuk sumbe>: ajaran para sarjana).
Peranan filsafat hukum dan ilmu hukum sebagai sumber hukum sudah terasa sejak dahulu kala. Di zaman Yunani, hukum dipatuhi terutama karena hukum itu merupakan tradisi yang diajarkan oleh orang-orang yang bijaksana. Sedangkan di zaman Romawi, Cicero menyebutkan tujuh bentuk hukum, tiga tidak ditemukan lagi dan di antara sisanya yang -empat terdapat "wewenang para ahli hukum" (Roscoe Pound, 1982:5-8).
, Keterikatan filsafat hukum dan ilmu hukum terlihat dari penga­ruh dimensi-dimensi hukum dan sifat-sifatnya. Dimensi nilai atau gagasan hukum menjadi wewenang filsafat hukum, dimensi perilaku menjadi wewenang ilmu hukum, dan dimensi kaidah menjadi wewenang seni atau teknik hukum. .
Secara episternologis ada tiga teo:: tentang I:;,ber.aran vakni The Correspondence Theory of Truth, The Coherence Theory of Truth, dan The Pragmatic Theory of Truth. Ketiga teori ini mendasari pengertian k'ebenaran. Filsafat hukum dan ilmu hukum bertujuan untuk mencapai kebenaran hukum. Jadi, dalam hal itu tujuan filsafat hukum clan ilmu hukum berbeda dari tujuan hukum. Hukum itu sendiri bertujuan hendak mencari keadilan, kepastian hukum, ke­tertiban. Tujuan hukum bersifat etis yakni bersumber pada kebaikau. Tujuan hukum dapat disokong dengan filsafat hukum clan ilmu hukum yakni apabila filsafat hukum clan ilmu hukum dapat menjadi sumber hukum.
Apakah ketiga teori kebenaran itu dapat diterapkan ke dalam filsafat hukum, ilmu hukum dan teknik hukum? Teori korespondensi memandang bahwa suatu pernyataan adalah benar bila sesuai atau ; sebanding dengan kenyataan yang menjadi obyeknya. Teori ko­` herensi berpendapat bahwa suatu pernyataan adalah benar jika sesuai ~ dengan pernyataan sebelumnya. Dan, teori pragmatik menyatakan bahwa suatu pernyataan adalah benar bila berguna bagi kehidupan praktis. Teori korespondensi adalah cocok dengan dimensi perilaku hukum clan menjadi bahan kajian dari sosiologi hukum clan antropo­logi hukum. Teori koherensi cocok dengan dimensi nilai hukum clan menjadi bahan kajian filsafat hukum. Sedangkan teori pragmatik cocok dengan dimensi kaidah clan menjadi. bahan kajian seni atau 'teknik hukum. '
Dari seai metode dapat dibedakan antara metode empirik yang v mengkaji dimensi perilaku, metode reflektif yang mengkaji dimensi nilai clan metode normatif yang mengkaji dimensi kaidah.
Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum
Pada bagian lain dalam karangan ini sudah diuraikan mengenai hubungan antara filsafat clan ilmu pada umumnya. Dari bagian ini 1 dapat disimpulkan bahwa antara filsafat clan ilmuJ ada persarnaan clan perbedaannva. Pada masa kini filsafat clan ilmu masing-masing memiliki otonomi. Otonomi ini hanya berfungsi demi kepentingan praktis akademis sebab dalam refleksi filsafat batas-batas antara filsafat clan ilmu menjadi tipis. Pembedaan itu rerjadi dalam rangka klasifikasi atau sistematisasi sebagai disiplir: intetearual _vang membutuhkan keteraturar...
Pada dasarnya pernyataan-pernyataan filsafat hukum merupakan pririsip-prinsip yang fundamental atau mendasar tentang hukum. ?vlalahan kerja filsafati merupa'.:an usaha-usaha untuk menguji prinsip-prinsip dasar tersebut. Dalam ilmu hukum, prinsip-prinsip tersebut dapat berperanan sebagai prinsip-prinsip pertama atau prima principia. Prinsip-prinsip pertama merupakan titik tolak untuk melakukan deduksi atau hila cara kerjanya induksi maka prinsip­prinsip pertama itu berwujud hipotesa. Cara kerja keilmuan dapat dirumuskan sebagai log iko-hipotetiko-verifikatif (Jujun S. Suria­i sumantri). Jika ilmu hukum merupakan ilmu yang menerapkan metode ilmu-ilmu alam, maka peranan filsafat hukum ialah dalam <
tahap hipotesa. Hipotesa bersifat mentah dalam ilmu. Artinya, hipotesa masih memerlukan pembuktian.
' Setiap ilmu mempunyai prinsip-prinsip pertama (van Melsen, 1985:20), begitu juga dengan ilmu hukum. Prinsip-prinsip pertama ini dalam ilmu hukum yang menerapkan metode ilmu alam terlihat ; dalam sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum dan lain-lain. Dalam ilmu hukum yang mengkaji atau meneliti kaedah, prinsip-prinsip pertama terlihat dalam kaidah dasar atau Grundnorrn. Penelitian hukum normatif didasarkan pada struktur hukum ber­jenjang yang pada akhirnya sampai pada puncaknya berupa kaidah dasar. Kaidah dasar berisi prinsip-prinsip pe,rtama yang berasal dari filsafat atau filsafat hukum atau dari pandangan hidup.
Ilmu hukum dapat berperanan dalam refleksi filsafat hukum. Hasil-hasil 15enelitian ilmu hukum adalah baha:r bagi filsafat hukum. Filsafat hukum mengintegrasikan hasil penelitian ilmu hukum, mengaitkannya dengan keseluruhan yang ada dan menempatkannya dalam pemahaman manusiawi secara intens„ clan mengimplikasikan­nya pada kebutuhan manusia yang paling dasar akan suatu keadilan. Hasil penelitian ilmu hukum sebagai ilmu bersifat fragmentaris yakni hanya meneliti sebagian saja dari kenyataan. Sebab itu fungsi dari filsafat hukum ialah menempatkan hasil-hasil penelitian ilmu hukum yang fragmentaris itu dalam keseluruhan atau dalam ke­semestaan. Filsafat hukum memeriksa basil-hasil ilmu hukum secara radikal dan kritis. Filsafat hukum mengkonst~uksikan hal-hal ini yang tak terjangkau clan tak teraba oleh ilmu hukum yakni sesuai badaniah
dari hukum. Secara lebih jelas filsafat hukum menempatkan hasil­hd;i? ilmu hukuin secara konsisten, komperehensif, koheren dan introspektif.
Filsaiat hukum tidak semata-mata mengkaji nilai yang akan berguna bagi ilmu hukum, tetapi filsafat hukum berfungsi untuk mengatur hasil-hasil ilmu hukum secara konsisten, komperehensif,
koheren dan introspektif. 'Jadi, fungsi filsafat hukum tidak semata-­mata memberi masukan bagi ilmu Hukum, tetapi juga berfungsi untuk mengolah hasil-hasil ilmu hukum.