Jumat, 31 Juli 2009

KEPATUHAN PAJAK

PENDEKATAN SOSIOLOGIS SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KEPATUHAN WAJIB PAJAK




Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas
Mata kuliah Sosiologi Hukum
Dosen Pengampu :
Dr. DJAUHARI, SH, Mhum







Disusun Oleh :
TEGUH BUDI YUWANA



PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MURIA KUDUS
2009
BAB I
PENDAHULUAN



Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Bangsa Indonesia telah melaksanakan pembangunan yang pesat dalam kehidupan nasional yang perlu dilanjutkan dengan dukungan dan seluruh potensi masyarakat. Agar proses pembangunan selanjutnya berjalan lancar perlu adanya hubungan yang selaras serasi dan seimbang antara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara secara dinamis dan proposional dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang bertanggung jawab.
Salah satu tujuan negara yang disepakati oleh para pendiri awal negara ini adalah menyejahterakan rakyat, menciptakan kemakmuran yang berasaskan kepada keadilan sosial. Sebagai negara yang berkembang Negara Republik Indonesia tengah menggalakkan pembangunan di segala bidang, yaitu pembangunan bidang ekonomi, sosial budaya dan hukum. Bidang-bidang tersebut mempunyai tujuan yang sama dengan yang terdapat pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mensejahterakan rakyat Indonesia secara adil dan makmur. Sehingga untuk dapat mencapai tujuan ini, negara harus melakukan pembangunan di segala bidang. Sebagai sebuah negara yang berdasarkan hukum material/sosial, Indonesia menganut prinsip pemerintahan yang menciptakan kemakmuran rakyat.[1] Dalam hal ini, ketersediaan dana yang cukup untuk melakukan pembangunan merupakan faktor yang sangat penting.
Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk merealisasikan tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa yaitu dengan menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama.
Saat ini pajak merupakan sumber utama penerimaan negara, berbeda dengan era tahun 1970 s/d 1980-an dimana penerimaan negara yang berasal dari sumber daya alam terutama minyak bumi dan gas masih cukup signifikan. Tabel di bawah ini menunjukkan kontribusi pajak sebagai sumber penerimaan negara, yang dimana ketergantungan penerimaan negara terhadap perpajakan semakin besar dari tahun ke tahun bahkan untuk RAPBN tahun anggaran 2006 target penerimaan perpajakan sebesar 66,5 % dari penerimaan dalam negeri. Hal tersebut menunjukkan bahwa indonesia semakin mandiri didalam pembiayaan APBN-nya. Semakin besar penerimaan APBN bersumber dari penerimaan perpajakan berarti semakin besar peran serta masyarakat di dalam pembangunan melalui pembayaran pajak.
Reformasi perpajakan adalah perubahan yang mendasar di segala aspek perpajakan. Reformasi perpajakan yang sekarang menjadi prioritas, menyangkut modernisasi administrasi perpajakan jangka menengah (tiga hingga enam tahun) dengan tujuan tercapainya : pertama, tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi. Kedua, kepercayaan terhadap administrasi perpajakan yang tinggi. Dan ketiga, produktivitas aparat perpajakan tinggi. Dalam jangka pendek, upaya-upaya yang dilakukan adalah dimungkinkan wajib pajak untuk menyampaikan spt secara elektronik (e-filing). Dalam rangka peningkatan pelayanan permohonan restitusi kepada wajib pajak, sedang dilaksanakan kegiatan penerapan on-line system yang menyangkut pembayaran pajak (e-payment), pendaftaran NPWP (e-registration) serta pelaporan SPT (e-filing) sehingga wajib pajak tidak perlu lagi datang ke kantor pajak, namun cukup melakukan kegiatan tersebut secara on-line dari rumah/kantor mereka.




BAB II
PERMASALAHAN


Pembangunan Nasional Indonesia pada dasarnya dilakukan oleh masyarakat bersama-sama pemerintah. Oleh karena itu peran masyarakat dalam pembiayaan pembangunan harus terus ditumbuhkan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kewajibannya membayar pajak. Dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, dapat dilakukan dengan intensifikasi dan ekstensifikasi usaha-usaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat (Wajib Pajak) dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak sebagai bentuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Mengoptimalkan dan mengefektifkan penerimaan dari sektor pajak ini tergantung pada kedua belah pihak, yaitu pemerintah sebagai aparat perpajakan (fiskus) dan masyarakat sebagai wajib pajak atau yang dikenai pajak.
Undang-undang perpajakan indonesia sejak tahun 1984 menganut sistem self assessment yang memberi kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya, mulai dari menghitung, memungut, memotong, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak penghasilan terutang. Dalam pemberlakuan sistem ini kepatuhan wajib pajak diharapkan dapat meningkat, yang ditandai dengan pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh wajib pajak secara sukarela.
Tetapi dalam kurun dua dekade tersebut kesadaran yang ditunggu-tunggu tidak muncul juga, tercermin dari masih kecilnya wajib pajak yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) dari jumlah penduduk di indonesia yang berjumlah 213 juta jiwa, yaitu sampai tahun 2005 jumlah wajib pajak orang pribadi berjumlah 2.893.960[2]. Hal ini menandakan kebijakan perpajakan tidak cukup kuat untuk melakukan ekstensifikasi pajak disamping proses pendataan wajib pajak kurang gencar dilakukan, disamping itu pandangan negatif masih merebak ditengah masyarakat pada instansi perpajakan mengenai korupsi atau kolusi dengan wajib pajak, sehingga mempengaruhi tingkat kepatuhan rakyat dalam membayar pajak.
Banyak warga masyarakat yang masih beranggapan bahwa pajak merupakan pungutan bersifat paksaan yang merupakan hak istimewa pemerintah dengan tidak memberikan kontraprestasi langsung kepada pembayar pajak. Persepsi keliru tentang perpajakan diperkuat dengan dianutnya sistem pemungutan pajak secara official assessment.[3]
Dalam pelaksanaan memungut pajak, Pasal 23A Amandemen Ke-4 Undang-Undang 1945 sebagai dasar hukum pemungutan pajak mengatur bahwa pajak dipungut oleh pemerintah berdasarkan undang–undang. Pasal 23A Amandemen Ke-4 Undang-Undang 1945 ini bertujuan menjamin kepastian hukum pelaksanaan pajak bagi pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian pemungutan pajak berdasarkan undang–undang mengandung pengertian bahwa terhadap mereka yang ternyata mengabaikan atau melanggar ketentuan pembayaran pajak akan dikenakan sanksi penagihan secara paksa dalam bentuk penyitaan, penyegelan ataupun penahanan. Undang–undang yang dimaksud pada Pasal 23A Amandemen ke-4 Undang-Undang 1945 tersebut sudah terealisasi sejak diadakannya Tax Reform yaitu pembaharuan di bidang perpajakan yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1984.
Sejak diberlakukannya Tax Reform ini, pemerintah beranggapan bahwa peraturan perpajakan hingga tanggal 1 Januari 1984 yang masih berlaku di Indonesia sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, tidak sesuai dengan struktur dan organisasi pemerintahan dan tidak sesuai dengan perkembangan ekonomi yang berlaku dan berkembang di Indonesia.
Dalam prakteknya sering kali dijumpai adanya pihak-pihak yang tidak mempunyai kesadaran untuk membayar pajaknya. Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa penagihan pajak dapat dipaksakan penagihannya, sehingga kepada pihak-pihak yang tidak mau membayar pajaknya tersebut dapat dilakukan penagihan pajak dengan surat paksa.
Penagihan pajak dengan surat paksa dilakukan oleh pegawai kantor pajak di mana wajib pajak yang bersangkutan tinggal. Dengan adanya penagihan pajak dengan surat paksa, wajib pajak yang tidak mau membayar pajaknya dapat dipaksa untuk memenuhi kewajibannya. Jika setelah dilakukan penagihan menggunakan surat paksa, wajib pajak tersebut masih tetap tidak mau membayar pajaknya, maka kepadanya dapat dikenakan sanksi kurungan atau penyitaan atas hartanya.
Sanksi kurungan dan penyitaan merupakan upaya paksa terakhir yang dapat dilakukan dalam rangka menagih pajak. Adanya sanksi kurungan ini mengakibatkan hilangnya kebebasan seseorang, dan adanya penyitaan barang mengakibatkan harta orang tersebut tidak dapat dipergunakan lagi seperti semula. Dilihat dari akibat-akibat penagihan pajak dengan surat paksa yang sangat tidak menyenangkan itu, maka penagihan pajak dengan surat paksa tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang.
Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang akan diangkat adalah :
Upaya – upaya apa yang dapat dilakukan untuk melakukan pendekatan personal guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak sebagai alternatif untuk menghindari penagihan pajak dengan surat paksa ?












BAB III
PEMBAHASAN


Ada benturan kepentingan antara wajib pajak dengan fiskus mengenai besarnya pajak. Wajib pajak berkepentingan terhadap besarnya pajak yang pantas. Fiskus berkepentingan terhadap terhimpunnya dana dari sektor perpajakan sebesar mungkin. Pajak yang pantas adalah besarnya pajak yang secara yuridis tidak melanggar undang-undang perpajakan yang berlaku dan secara ekonomis tidak memberatkan keuangan perusahaan. Upaya yang dilakukan oleh wajib pajak untuk mendapatkan besarnya pajak yang pantas adalah dengan melakukan perencanaan perpajakan.
Banyak warga masyarakat yang masih beranggapan bahwa pajak merupakan pungutan bersifat paksaan yang merupakan hak istimewa pemerintah dengan tidak memberikan kontraprestasi langsung kepada pembayar pajak Persepsi keliru tentang perpajakan diperkuat dengan dianutnya sistem pemungutan pajak secara official assessment. Dengan sistem ini, wajib pajak ditempatkan sebagai subyek pasif perpajakan. Kondisi ini tidak mendukung upaya menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat untuk menjadi wajib pajak yang patuh membayar pajak, bahkan ada kecenderungan untuk berusaha menghindari dari kewajiban pajak.
Pengertian pajak sebenarnya telah dikenal sejak jaman kerajaan dahulu yaitu semenjak raja-raja di dunia ini menerima upeti dari rakyat atau negara jajahannya. Penyerahan upeti kepada raja merupakan kewajiban yang dapat dipaksakan. Upeti tersebut oleh raja dipergunakan untuk membiayai keperluan pribadi dan untuk membiayai berbagai keperluan lainnya.
Sejak permulaan abad ke-20 seiring berubahnya bentuk pemerintahan kerajaan menjadi bentuk republik, maka muncul beberapa definisi tentang pajak. Menurut Soeparman Soemahamidjaja, pajak merupakan iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum[4]. Di sini, pajak digunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat sebagai kas negara. Namun, menurut Edwin R.A. Seligman[i], pembayar pajak tidak mendapat manfaat apa-apa dari pembayaran pajak[5]. Pandangan ini banyak dikritik karena bagaimanapun pajak yang dibayarkan akan digunakan untuk pembangunan yang nantinya dirasakan juga oleh pembayar pajak.
Prof. Dr. Rochmat soemitro mempunyai definisi tersendiri yakni pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdaasarkan undang-undang (yang dapat dipaksaakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraaprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum[6].
Dari definisi-definisi di atas dapatlah dirangkum esensi dari pengertian pajak yakni merupakan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah Pengenaannya harus diatur dengan undang-undang, dapat dipaksakan untuk keperluan pembiayaan umum dan kontraprestasi tidak langsung
Esensi yang terangkum di atas adalah hal-hal yang membedakan pengertian pajak dengan punguitan lain. Hal-hal yang membedakan antara pajak dengan pungutan lain seperti: retribusi, sumbangan, dan cukai, terletak pada tingkat peraturan yang mengaturnya dan kontraprestasi yang diperolehnya.
Sejak tahun 2001 Kantor pajak telah melakukan kampanye sadar dan peduli pajak. Kampanye juga dilakukan kepada seluruh lapisan masyarakat seperti kalangan akademis, politisi, pengusaha, selebritis, tokoh agama, tokoh masyarakat dan lsm – lsm. Upaya membangun kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk membayar pajak, djp telah melaksanakan intensifikasi pajak. Intensifikasi adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan pajak melalui wajib pajak yang sudah terdaftar, untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Kegiatan intensifikasi ini berupa penyuluhan berbagai ketentuan yang berlaku, memberikan pelayanan prima kepada wajib pajak, pemeriksaan dan penagihan pajak
A. Faktor – faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak
Pencapaian target penerimaan pajak yang sebesar-besarnya tidak dimaksudkan sebagai usaha untuk memungut pajak sebesar mungkin kepada pembayar pajak, melainkan berusaha untuk mengoptimalkan jumlah subyek atau obyek yang dikenakan pajak agar tidak ada yang terlewatkan.
Ada beberapa faktor yang sangat berperan penting dalam menjamin optimalisasi pemasukan dana pemungutan pajak ke kas negara, yaitu[7] :
1. Kejelasan dan Kepastian Peraturan Perundang-Undangan dalam Bidang Perpajakan
Secara formal, pajak harus dipungut berdasarkan undang-undang demi tercapainya keadilan dalam pengutan pajak (‘No taxation without representation’ atau ‘Taxation without representation is robbery’)[8]. Namun, keberadaan undang-undang saja tidaklah cukup. Undang-undang haruslah jelas, sederhana dan mudah dimengerti, baik oleh fiskus, maupun oleh pembayar pajak. Timbulnya konflik mengenai interpretasi atau tafsiran mengenai pemungutan pajak akan berakibat pada terhambatnya pembayaran pajak itu sendiri. Di sisi lain, pembayar pajak akan merasa bahwa sistem pemungutan sangat berbelit-belit dan cenderung merugikan dirinya sebagai pembayar pajak.
2. Tingkat Intelektualitas Masyarakat
Sejak tahun 1984, sistem perpajakan di Indonesia menganut prinsip Self Assessment[9]. Prinsip ini memberikan kepercayaan penuh kepada pembayar pajak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya dalam bidang perpajakan, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 Pasal 4 ayat (1) bahwa wajib pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya. Sementara di Pasal 12 ayat (1) dinyatakan bahwa setiap wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Dalam hal ini, pembayar pajak mengisi sendiri Surat Pemberitahuan (SPT) yang dibuat pada setiap akhir mnasa pajak atau akhir tahun pajak. Nantinya, fiskus melakukan penelitian dan pemeriksaan mengenai kebenaran pemberitahuan tersebut.
Dengan menerapkan prinsip ini, pembayar pajak harus memahami peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan sehingga dapat melakukan tugas administrasi perpajakan. Untuk itu, intelektualitas menjadi sangat penting sehingga tercipta masyarakat yang sadar pajak dan mau memenuhi kewajibannya tanpa ada unsur pemaksaan. Namun, semuanya itu hanya dapat terjadi bila memang undang-undang itu sendiri sederhana, mudah dimengerti, dan tidak menimbulkan kesalahan persepsi.
3. Kualitas Fiskus (Petugas Pajak)
Kualitas fiskus sangat menentukan di dalam efektivitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Bila dikaitkan dengan optimalisasi target penerimaan pajak, maka fiskus haruslah orang yang berkompenten di bidang perpajakan, memiliki kecakapan teknis, dan bermoral tinggi. Baru-baru ini diberitakan bahwa seluruh kantor wilayah pajak di Indonesia tidak sanggup memenuhi penghimpunan dana sesuai target yang ditetapkan dalam APBN[10]
4. Sistem Administrasi Perpajakan yang Tepat
Seberapa besar penerimaan yang diperoleh melalui pemungutan pajak juga dipengaruhi oleh bagaimana pemungutan pajak itu dilakukan.
Menurut Adam Smith [11], pemungutan pajak hendaknya didasarkan atas empat asas, yaitu:
1. Equity/Equality
Keadilan merupakan pertimbangan penting dalam membangun sistem perpajakan. Dalam hal ini, pemungutan pajak hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya. Negara tidak boleh melakukan diskriminasi di antara sesama pembayar pajak.
2. Certainty
Di sini, pajak yang harus dibayar haruslah terang (certain) dan tidak mengenal kompromis (not arbitrary). Kepastian hukum harus tercermin mengenai subyek, obyek, besarnya pajak dan juga ketentuan mengenai pembayaran.
3. Convenience
Pajak harus dipungut pada saat yang paling baik bagi pembayar pajak, yaitu saat diterimanya penghasilan.
4. Economy
Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-hematnya. Biaya pemungutan hendaknya tidak melebihi pemasukan pajaknya.
Keempat asas ini sebenarnya sudah tercakup dalam sasaran dari reformasi perpajakan di Indonesia. Enam sasaran utama yang dilakukan pemerintah pada tahun 1984 dalam reformasi perpajakan mencakup[12]:
1. Penerimaan negara dari sektor perpajakan menjadi bagian dari negara yang mandiri dalam rangka pembiayaan pembangunan nasional.
2. Pemerataan dalam pengenaan pajak dan keadilan dalam pembebanan pajak.
3. Menjamin adanya kepastian.
4. Sederhana.
5. Menutup peluang penghindaran pajak dan/atau penyelundupan pajak oleh wajib pajak dan penyalahgunaan wewenang oleh petugas pajak.
6. Memberikan dampak yang positif dalam bidang ekonomi.
Administrasi perpajakan merupakan prioritas tertinggi karena bagian inilah yang memiliki kemampuan untuk menjalankan fungsinya sebagai pengumpul dana masyarakat melalui pemungutan pajak. Unit-unit terkecil pelayanan pajak merupakan kunci yang strategis karena langsung berhubungan dengan pembayar pajak. Penyediaan informasi pajak dan sistem pelayanan yang terintegrasi dapat mempermudah pembayar pajak guna melakukan pembayaran. Sebagai konsekuensi dari sistem Self Assessment, maka pembayaran pajak haruslah dibuat semudah mungkin dengan tidak melupakan aspek pengawasan terhadap seluruh dana yang disetor. Bila sistem pemungutan dan sistem pembayaran dirancang berbelit-belit dan rumit, tentu akan menghambat kinerja fiskus dalam melakukan pemungutan dan pengawasan serta menimbulkan keengganan bagi pembayar pajak untuk melakukan kewajibannya. Tentunya, sistem administrasi ini haruslah didukung oleh peraturan perundang-undangan yang memberikan keluwesan, baik bagi fiskus maupun pembayar pajak
B. Upaya Pendekatan personal terhadap kepatuhan wajib pajak
Upaya memaksimalkan terhimpunnya pajak dilakukan dengan cara intensifikasi dan ekstensifikaasi di bidang perpajakan. Intensifikasi adalah upaya meningkatkan terhimpunnya pajak pada subyek maupun obyek pajak yang telah ada. Intensifikasi tercapai jika terjadi peningkatan jumlah rupiah dari sektor perpajakan tanpa harus memperluas jumlah wajib pajak. Ekstensifikasi adalah upaya meningkatkan terhimpunnya pajak dengan memperluas subyek pajak maupun obyek pajak. Ekstensifikasi tercapai jika peningkatan jumlah rupiah dana yang terhimpun diikuti oleh bertambahnya wajib pajak yang dapat terjaring.
Banyaknya SPT yang dimasukkan ke kantor pajak berpengaruh terhadap besarnya nilai rupiah dana yang terhimpun dan jumlah wajib pajak yang terjaring. Dengan demikian kepatuhan wajib pajak yang dipengaruhi oleh motivaasi membayar pajak dapat diukur berdasarkan jumlah rupiah dana yang terhimpun dan jumlah wajib pajak yang terjaring dari sektor perpajakan
Namun dalam pelaksanaan penagihan pajak banyak sekali ditemui masalah, antara lain banyaknya wajib pajak yang dikenai penagihan pajak dengan surat paksa karena adanya utang pajak yang belum atau tidak dilunasi sampai batas waktu pembayaran berakhir. Pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa itu sendiri, juga menemui kendala–kendala yang menghambat pelaksanaan penagihan tersebut. Sehingga amat diperlukan adanya aturan yang tegas dan jelas tentang tata cara penagihan dengan surat paksa.
Peraturan perpajakan yang adil atau baik harus mempertimbangkan teori, azaz, dan sistem perpajakan, yaitu kemudahan, keadilan, kepastian hukum (azaz), dan partisipasi wajib pajak (teori dan sistem), tanpa harus mengorbankan tujuan perbankan yang akan dicapai oleh fiskus.
Pelunasan utang pajak oleh wajib pajak merupakan salah satu tujuan penting pemberlakuan Undang–undang Nomor 17 Tahun 1997 ini. Untuk menambah ketajaman upaya penagihan pajak, dalam keadaan tertentu terhadap wajib pajak dapat dikenakan penagihan pajak dengan surat paksa yang nantinya akan diikuti penyitaan, pelelangan dan bahkan penyanderaan. Penagihan pajak dengan surat paksa dilakukan apabila wajib pajak atau penanggung pajak lalai melaksanakan kewajiban membayar pajak dalam waktu sebagaimana telah ditentukan dalam pemberitahuan sebelumnya (Surat Teguran), maka penagihan selanjutnya dilakukan oleh jurusita pajak dengan menggunakan surat paksa yang diberitahukan oleh jurusita pajak dengan pernyataan dan penyerahan kepada penanggung pajak.
Penagihan pajak dengan surat paksa ini dilakukan oleh jurusita pajak pusat maupun daerah. Jadi, Surat Paksa dalam proses penagihan tunggakan pajak mempunyai peranan yang sangat penting yang bisa menentukan berhasil atau tidaknya proses penagihan tunggakan pajak tersebut.
Namun demikian harus diupayakan terlebih dahulu agar pemaksaan pembayaran pajak dapat dihindari sedini mungkin. Hal – hal yang dapat dijadikan acuan untuk menghindari penagihan dengan surat paksa adalah pendekatan dengan memberikan motivasi kepada para wajib pajak. Pendekatan secara sosiologis diharapkan akan dapat mengetahui alasan pribadi para wajib pajak tidak membayar kewajibannya. Hal ini dikarenakan perilaku individu atau kelompok sangat dipengaruhi oleh motivasi. Motivasi yang mendorong kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi intensitas wajib pajak dalam mengisi dan memasukkan surat pemberitahuan pajak ke kantor pelayanan pajak.
Kesadaran masyarakat sebagai wajib pajak yang patuh sangat erat terkait dengan persepsi masyarakat tentang pajak. Persepsi sangat berpengaruh terhadap motivasi wajib pajak dalam membayar pajak. Motivasi pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Perilaku patuh wajib pajak sangat sangat dipengaruhi oleh variabel perilaku individu dan lingkungan.
Pengaruh motivasi terhadap perilaku secara teoritis dapat dibahas melalui kajian struktur (content theory), dan kajian proses (process theory). Content theory menitikberatkan kepada faktor-faktor yang melekat pada individu yang dapat menimbulkan, mengarahkan, mempertahankan, dan menghentikan perilaku. Process theory, menjelaskan dan menganalisa bagaimana perilaku dimunculkan, diarahkan, dipertahankan dan dihentikan.
Dari pembahasan content theory, kepatuhan wajib pajak sangat terkait dengan kepentingan atau kebutuhan yang harus terpenuhi, kebutuhan wajib pajak adalah menghitung besarnya pajak yang pantas. Pajak yang pantas adalah besarnya pajak yang secara yuridis tidak melanggar peraturan perpajakan dan secara ekonomis tidak memberatkan keuangan wajib pajak.
Dari kepuasan process theory, perilaku patuh dalam membayar pajak dapat didorong dengan [13]:
a. Menciptakan peraturan yang dapat mengakomodasi dan mendinamisasi ;
b. Sanksi dan insentif (reinforcement theory) ;
c. Harapan (expectancy theory);
d. Rasa keadilan (equty theory);
e. Tujuan (goal setting theory) yang terkait dengan kebijakan perpajakan.
Peraturan perpajakan yang adil atau baik harus mempertimbangkan teori, azaz, dan sistem perpajakan, yaitu kemudahan, keadilan, kepastian hukum (azaz), dan partisipasi wajib pajak (teori dan sistem), tanpa harus mengorbankan tujuan yang akan dicapai oleh fiskus.
























BAB IV
SIMPULAN




[1] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan. Dasar-Dasar dan Pembentukannya, cet. 11 (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 128.
[2] http://www.pajak.go.id/berita/penerimaan-pajak
[3] www.pajak.go.id/berita
[4] R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, ed. ke-3 (Bandung: Refika Aditama, 1998), hlm. 5.
[5] Ibid., hlm. 3.
[6] Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 3, Eresco, Bandung, 1991, hal. 23

[7] Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu, Perpajakan. Konsep, Teori, dan Isu (Jakarta: Kencana, 2006),hlm. 26
[8] Brotodihardjo, op. cit., hlm. 37
[9] Rukiah Komariah dan Ali Purwito, Pengadilan Pajak. Proses Banding Sengketa Pajak Pabean dan Cukai, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), hlm. 20.
[10] perpustakaan.bappenas.go.id
[11] Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, Perpajakan. Teori dan Aplikasi (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 117.
[12] ibid, hlm. 118
[13] Supriyadi, Makalah Kepatuhan Wajib Pajak, Kudus, Hal 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar