Jumat, 31 Juli 2009

POLITIK HUKUM



LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
( LPSK )
ANTARA ADA DAN TIADA











Disusun Oleh :
TEGUH BUDI YUWANA
NIM. 2009 – 02 - 027



BAB I
PENDAHULUAN


“ Sebanyak 15 korban Kasus Tanjung Priok yang menjadi saksi dalam persidangan datang meminta perlindungan ke Markas Besar Polri pada hari Selasa, 28 Oktober 2003. Mereka mengaku diintimidasi dan diteror sejumlah oknum aparat seusai mengikuti sidang kasus ini di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Dalam laporannya, beberapa diantara mereka mengaku sampai dianiaya, seperti yang dialami Husein Safe dan Ishaka. Para korban juga mengatakan, keluarga mereka dihalangi untuk menyaksikan sidang dengan terdakwa Mayor Jenderal TNI Sriyanto itu. Mereka hanya boleh mengikuti persidangan dari luar ruang sidang. Menyikapi pengaduan tersebut, Wakil Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Polisi Soenarko D.A. mengatakan akan menindaklanjuti laporan mereka. Dia juga berjanji melaporkan masalah ini ke Kepala Polri Jenderal Pol. Da`i Bachtiar ”[1].

Perlindungan saksi dalam sistem hukum nasional nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya hak-hak saksi maupun korban kejahatan memperoleh pengaturan dalam perundang-undangan nasional. Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan saksi dan korban kejahatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945, sebagai landasan konstitusional.
Ilustrasi diatas menggambarkan betapa pentingnya saksi dan korban kejahatan memperoleh perlindungan yang memadai selama menjalani proses peradilan. Bentuk perlindungan itu antara lain, kaitan antara penegakan hukum dengan perlindungan saksi dan korban, hak dan kewajiban, pengaturan saksi dan korban dalam hukum nasional.
Selama ini muncul pandangan yang menyebutkan bahwa pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana, maka pada saat itulah perlindungan terhadap saksi dan korban telah diberikan, padahal pendapat demikian tidak sepenuhnya benar. Dalam beberapa perundang-undang nasional permasalahan perlindungan korban kejahatan memang sudah diatur namun sifatnya masih parsial dan tidak berlaku secara umum untuk semua korban kejahatan.
Indonesia telah memiliki Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) yang diundangkan pada 11 Agustus 2006. Undang-Undang ini pada awalnya adalah amanat yang didasarkan Ketetapan (TAP) MPR No. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang menyatakan bahwa perlu adanya sebuah undang-undang yang mengatur tentang perlindungan saksi.
Namun secara formal, undang-undang ini dinilai masih tidak maksimal dalam mengatur perlindungan terhadap saksi dan korban karena masih terdapat bolong disana sini. Undang – undang Perlindungan Saksi dan Korban memiliki berbagai kelemahan baik dalam lingkup konsep perlindungan, tata cara perlindungan, hak saksi maupun korban sampai dengan masalah kelembagaan[2]. Banyaknya kelemahan yang ada di dalam Undang – undang Perlindungan Saksi dan Korban tersebut, sedikit banyak akan mempengaruhi implementasinya.












BAB II
PERUMUSAN MASALAH


Salah satu amanat dari Undang – undang Perlindungan Saksi dan Korban adalah pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK. Pengaturan mengenai lembaga ini dalam Undang – undang Perlindungan Saksi dan Korban juga terdapat persoalan. Meskipun pada bagian ketentuan umum Undang – undang Perlindungan Saksi dan Korban (Pasal 1) menyebutkan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Dan dalam pasal 12 menyebutkan LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Namun jika ditelusuri kembali, kenyataannya tugas dan kewenangan LPSK dalam Undang – undang Perlindungan Saksi dan Korban tidak diatur secara spesifik dalam ketentuan atau bab tersendiri. Apa yang dimaksud dengan tugas dan kewenangan LPSK terbatas dan tersebar dibeberapa pasal.
Adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri kehadiran LPSK juga akan menambah daftar panjang deretan lembaga atau komisi yang ada. Hal ini mengingat Indonesia telah memiliki banyak lembaga atau komisi yang bersifat independen. Dalam lima tahun terakhir, puluhan lembaga nonstruktural terbentuk. Lembaga-lembaga ini ada yang berbentuk komisi, komite, dewan, badan, atau lembaga. Beberapa lembaga nonstruktural yang tinggal hanya menyandang nama, tak efektif, atau tumpang tindih, kini terancam untuk diamputasi atau dilikuidasi.
Di sisi lain, seperti diakui Menneg PAN Taufiq Effendi, ada juga komisi-komisi yang masih telantar sampai beberapa bulan atau bahkan tahunan setelah terbentuk karena anggarannya sendiri belum jelas. Bahkan banyak dari anggota dan stafnya yang belum digaji. Kantor pun tak ada, berpindah-pindah atau menumpang. Untuk biaya operasional, kadang-kadang harus mengutang sana-sini, atau merogoh kocek sendiri[3].
Belajar dari pengalaman yang sudah ada, jika tidak disiapkan secara matang dan didukung penuh oleh semua pihak khususnya oleh pemerintah maka dikhawatirkan LPSK akan mengulang ketidakefektikan dari lembaga-lembaga mandiri yang telah terbentuk sebelumnya. Bukan tidak mungkin LPSK nantinya akan menjadi Lembaga Papan Nama.
Dari hal – hal diatas maka pada paper ini kami merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kemandirian LPSK dalam Undang – undang No 13 Tahun 2006 ?
2. Apa saja kendala – kendala yang dihadapi LPSK dalam melaksanakan tugasnya ?

















BAB III
PEMBAHASAN


Masalah perlindungan Korban dan Saksi di dalam proses peradilan pidana merupakan salah satu permasalahan yang menjadi perhatian dunia internasional. Hal ini dapat dilihat dengan dibahasnya masalah perlindungan korban kejahatan dalam Kongres PBB VII tahun 1985 tentang “The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders” di Milan, Italia : Disebutkan “Victims right should be perceived as an integral aspect of the total criminal justice system.” (Hak-hak Korban seharusnya menjadi bagian yang integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana)[4].
Adanya ketidakpercayaan terhadap kinerja beberapa institusi pemerintah seperti kepolisian, kejaksaan maupun kehakiman yang menyebabkan mengapa pilihan mandiri ini dikemukakan oleh para perumus UU. Hal ini juga terkait dengan trend yang ada, sehingga para perumus awal RUU PSK mendorong agar program perlindungan saksi dan korban disupervisi oleh lembaga baru di luar lembaga yang telah ada.
A. LPSK sebagai Lembaga Mandiri
Sebuah lembaga yang mandiri (biasanya disebut sebagai komisi independen), yakni organ negara (state organs) yang di idealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan baik Eksekutif, Legislatif maupun Judikatif, namun memiliki fungsi campuran antar ketiga cabang kekuasaan tersebut[5].
Dalam berbagai kepustakaan, yang dimaksud dengan independen adalah:
a) Berkaitan erat dengan pemberhentian anggota komisi yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam undang-undang ;
b) Sifat independen juga tercermin dari kepemimpinan yang kolektif, bukan hanya seorang pimpinan[6] ;
c) Kepemimpinan tidak dikuasai/mayoritas berasal dari partai politik tertentu ;
d) Masa jabatan pemimpin komisi tidak habis secara berrsamaan, tetapi bergantian (starggerd terms)[7].
Karena merupakan lembaga yang mandiri maka kemudian UU PSK tidak meletakkan struktur LPSK berada di bawah instansi manapun baik instansi pemerintah (eksekutif) maupun lembaga negara lainnya. Walaupun dari segi finansial lembaga ini didukung sepenuhnya dari keuangan negara. Pilihan UU terhadap model lembaga seperti ini tentunya menyerupai berbagai lembaga negara yang telah ada seperti: Komnas HAM, KPK, PPATK dan lain sebagainya.
Dari berbagai dokumen yang ada, keputusan untuk memilih model lembaga ini terkait dengan beberapa argumentasi. Pertama, keinginan untuk membuat lembaga yang secara khusus mengurusi masalah perlindungan saksi dan korban yang tidak berada di bawah institusi yang sudah ada. Kedua, karena institusi yang lainnya sudah memiliki beban tanggungjawab yang besar, oleh karena itu jangan sampai program perlindungan membebani lagi lembaga-lembaga tersebut.
B. KENDALA
1. Kendala Kelembagaan
Adalah kebiasaan yang dapat dimaklumi apablia sebuah Lembaga Negara berkedudukan di ibukota negara walaupun Undang – undang memberikan keleluasaan bagi LPSK untuk membentuk perwakilannya di daerah lainnya jika hal tersebut sesuai dengan kebutuhan dari LPSK. Pilihan UU untuk memberikan akses bagi LPSK untuk mendirikan lembaga perwakilan adalah pilihan yang tepat karena dari segi geografis wilayah republik Indonesia yang lumayan luas dan akses informasi maupun komunikasi yang terbatas baik antar wilayah maupun antar ibukota dengan wilayah lainnya. Lagi pula, kasus-kasus intimidasi terhadap saksi yang terjadi selama ini justru paling banyak di luar wilayah ibu kota Negara RI[8].
Walaupun idealnya LPSK ini ada ditiap wilayah Propinsi, namun kebutuhan untuk mendirikan perwakilan tersebut juga akan memberikan implikasi atas sumberdaya yang besar pula, baik dari segi pembiayaan, maupun penyiapan infrastruktur dan sumberdaya manusianya. Jangan sampai pendirian perwakilan tersebut justru malah kontraproduktif dengan tujuan dari LPSK misalnya makin membebani kerja-kerja yang justru menjadi prioritas LPSK karena problem administrasi dan lain sebagainya.
2. Kendala Kewenangan
Undang – undang No 13 Tahun 2006 dalam ketentuan umumnya telah menyatakan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Namun UU PSK tidak merinci tugas dan kewenangan dari LPSK tersebut lebih lanjut perumus UU kelihatannya tidak menjabarkan tugas dan kewenangan LPSK dalam suatu bagian atau bab tersendiri dalam UU No 13 tahun 2006 seperti peraturan lainnya, melainkan menyebarkan di seluruh UUProblem atas minimalnya kewenangan dari LPSK dalam prakteknya akan menyulitkan peranan-peranan dari LPSK.
Tugas dan kewenangan LPSK yang tersebar dalam UU No 13 Tahun 2006, yaitu: 1) Menerima permohonan Saksi dan/atau Korban untuk perlindungan (Pasal 29), 2)Memberikan keputusan pemberian perlindungan Saksi dan/atau Korban (Pasal 29), 3) Memberikan perlindungan kepada Saksi dan/atau Korban (Pasal 1), 4) Menghentikan program perlindungan Saksi dan/atau Korban (Pasal 32) 5) Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban (Pasal 34).
Jika dilihat dari tugas maupun kewenangan yang diberikan oleh UU PSK terhadap LPSK, secara umum terkesan sudah mencukupi. Namun jika diperhatikan dengan teliti, apalagi jika dikaitkan dengan mandat dari undang-undangnya maka kewenangan dari lembaga ini masih kurang memadai.
3. Kendala anggaran
Salah satu ruang lingkup dari pengeluaran adalah pengunaan atau pendirian “rumah aman” yang menyediakan akomodasi darurat jangka pendek (biasanya tidak lebih dari dua minggu, walaupun durasinya juga berbeda-beda, tergantung konteks kasus, dan tergantung kebutuhan), untuk para saksi maupun orang terkait dengan saksi (misalnya keluarga). Anggaran menggunakan rumah aman harus ada dalam program perlindungan. Apakah lembaga ingin membangun sendiri, atau menyewa dari pihak-pihak lainnya, adalah pilihan strategis dari lembaga.
Biaya lain yang akan dibutuhkan oleh lembaga perlindungan adalah berkenaan dengan biaya-biaya khusus yang dikeluarkan untuk perlindungan khusus yang diberikan kepada saksi. Beberapa hal yang mempengaruhi besarnya biaya tiap kasus yang dilindungi meliputi berbagai faktor, termasuk di dalamnya adalah: apakah saksi memiliki keluarga yang membutuhkan perlindungan, waktu yang dihabiskan oleh saksi di tempat tinggal sementara, standar kehidupan saksi, perubahan jenis ancaman yang mengancam saksi, dan hak saksi atas bantuan keuangan.
4. Kendala koordinasi
Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK dapat bekerja lama dengan instansi terkait sesuai dengan kewenangannya, wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Dengan memakai platform ini, maka lembaga perlindungan saksi dalam melakukan perlindungan terhadap saksi tentunya menyadari bahwa kerja-kerja lembaga akan melibatkan banyak dukungan dari instansi lain.
Sebagai contoh, berkaitan dengan intimidasi dan ancaman yang serius yang melibatkan relokasi saksi baik relokasi sementara maupun permanen, kerjasama antar-lembaga dengan program perlindungan saksi sangatlah penting baik dalam mengamankan perpindahan saksi dari rumah mereka dengan komunitas baru. Namun jika seseorang merupakan saksi yang berisiko terkena intimidasi yang serius yang mungkin juga akan mengancam jiwanya maupun keluarganya dan memiliki kemungkinan akan ada usaha dari pihak lain untuk melacak keberadaannya, maka sangatlah penting bila hubungan dengan lembaga-lembaga terkait dilakukan secara cepat dan aman.
Oleh karena itu pula maka hubungan antar lembaga tersebut harus di dukung dan difasilitasi oleh presiden, karena LPSK bertanggungjawab pula kepada Presiden. Posisi Presiden sebagai posisi yang sangat sentral dalam mendukung kerja LPSK sekaligus sebagai posisi yang membawahi masing-masing departemen atau lembaga terkait lainnya.














Bab IV
Kesimpulan


Dari paparan tentang lembaga perlindungan saksi dan korban seperti yang diatur dalam UU PSK, dapatlah disimpulkan beberapa hal yakni:
1) LPSK harusnya merupakan lembaga yang mandiri, namun pada prakteknya lembaga ini merupakan lembaga pendukung ( suporting ) bagi lembaga negara yang lain.

2) Secara umum kendala yang dihadapi adalah :
a. masalah anggaran ;
b. Kelembagaan ;
c. Kewenangan ;
d. Koordinasi antar lembaga negara
















Daftar Pustaka

1. Abdul Kholik, Kamus Istilah Anggaran, FITRA, Jakarta, 2002.
2. Denny Indrayana, Komisi Negara Independen, Evaluasi kekinian dan Tantangan Masa Depan, makalah diskusi terbatas “mencermati Problematika Lembaga negara, rekomendasi bagi pembentukan LPSK”, yang dilaksanakan oleh ICW dan Koalisi Perlindungan Saksi, Jakarta, 7 Maret 2007
3. Kompas, 30 April 2005, Inflasi Komisi, Inflasi Beban APBN
4. Supriyadi Widodo Eddyono, UU perlindungan Saksi Belum Progresif, ELSAM-Koalisi Perlindungan Saksi, 2006
5. UN Congress, Seventh Report, New York, 1986, hal. 147
6. Widodo dkk, Saksi dalam Ancaman; dokumentasi Kasus, ELSAM, 2004
7. William F. Funk dan Richard H. Seamon dalam Administratif Law: Example & Explanation, 2001, hlm 7
8. www. Liputan 6 .com

[1] www. Liputan 6 .com
[2] UU perlindungan Saksi Belum Progresif, Supriyadi Widodo Eddyono, ELSAM-Koalisi Perlindungan Saksi, 2006.

[3] Kompas, 30 April 2005, Inflasi Komisi, Inflasi Beban APBN
[4] UN Congress, Seventh Report, New York, 1986, hal. 147
[5] Denny Indrayana, makalah Diskusi Terbatas “Mencermati Problematika Lembaga negara, yang dilaksanakan oleh ICW dan Koalisi Perlindungan Saksi, Jakarta, 7 Maret 2007
[6] Abdul Kholik, Kamus Istilah Anggaran, FITRA, Jakarta, 2002
[7] William F. Funk dan Richard H. Seamon dalam Administratif Law: Example & Explanation, 2001, hlm 7
[8] Widodo dkk, Sanksi dalam Ancaman; dokumentasi Kasus, ELSAM, 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar