Jumat, 31 Juli 2009

PENDEKATAN

BAB I
PENDAHULUAN

Ilmu hukum merupakan salah satu bidang hukum. Ilmu hukum tidak identik dengan hukum karena tidak setiap hasil dari penelitian dan pengembangan ilmu hukum dapat menjadi hukum. Untuk menjadi hukum, hasil dari penelitian clan pengembang4n ilmu hukum harus melalui pembentukan hukum. Sekalipun hasil ilmu hukum dituangkan ke dalam bentuk undang-undang, belum tentu hasil ilmu hukum itu menjadi hukum. Semua itu baru menjadi hukum apabila sesuai dengan keadilan yang dikandung masyarakat.
Peranan hukum dalam kehidupan kita sangat besar baik di masa transisi dalam rangka pembaharuan hukum maupun di masa dunia hukum stabil. Ilmu hukum memberi kemungkinan-kemungkinan baru, walaupun mungkin bukan jalan keluur yang paling baik. Bisa saja ilmu hukum tidak menyajikan data-data yang terhimpun lengkap dan tidak memuaskan bagi kekuasaan, tetapi ilmu hukum mempunyai mata pisaunya yakni metode pendekatannya.
Apakah ilmu hukum mempunyai metode pendekatannya?
Ilmu hukum mempunyai metode pendekatannya, yang khas atau unik. Keunikan atau kekhasan itu terbentuk karena hakekat hukum itu sendiri. Dalam kenyataan metode ilmu hukum masih belum jelas. Ilmu hukum masih meminjam dari ilmu-ilmu lain. Oleh sebab itu untuk memahami metode, struktur dan axiologi dari ilmu hukum 'perlu difahami dasar terdalam dari hukum, menukik pada hakekat ' hukum.
Untuk memahami metode, struktur dan axliologi ilmu hukum diperlukan dasar ontologis dari hukum. Dengan kata lain diperlukan suatu jawaban atas pertanyaan: Apakah hukum itu? Sekalipun jawaban itu hanya minimal. Pertanyaan itu sebenarnya tidak pernah mencapai jawaban yang final dan memuaskan.
Secara sederhana, hakekat hukum dapat diajukan sebagai per­tanyaan dalam bentuk apakah hukum terlihat o!eh mata hit:a sehari­hari dan apakah yang kita rasakan? Sehari-hari kita melihat hukum sebagai orang seperti terdakwa; terpidana, polisi, jaksa, hakim, pengacara, notaris, juru sita, panitera. Mereka dapat dilihat oleh mata kita karena merekalah yang secara langsung terlinat clan tercerap oleh panca indra kita. Kemudian hukum juga tampak sebagai lembaga-lembaga yang secara fisik terlihat sebagai gedung­gedung: gedung Pengadilan Negeri atau Tinggi, Mahkamah Agung, POLSEK, MABES POLRI, Kejaksaan, Kantor Notaris, Kantor Catatan Sipil clan lain-lain.
Bagi orang yang sedikit ierpelajar, hukum dapat dilihat sebagai peraturan-peraturan seperti: undang-undang, keputusan pengadilan atau yurisprudensi, peraturan pemerintah, peraturan daerah dan lain­lain. Secara konkret orang sering mengatakan hal ini bertentangan dengan pasal sekian ayat sekian dari undang-undang anu. Orang akan menyadari adanya suatu kekuatan undang-undang apabila terjadi adanya perubahan undang-undang yang mengganti suatu undang­undang lama yang terasa , berbeda dari peraturan sebelumnya. Terkadang orung tidak pernah membaca suatu undang-undang, tetapi ia menjadi tahu atau menyadari suatu peraturan karena ada yang melaksanakannya.
Lebih dari itu akan terasa juga hukum sebagai suatu yang hanya dapat dirasakan. Ketika seseorang diperkosa haknya oleh orang lain atau oleh aparat pemerintah misalnya rumahnya digusur, timbul dalam hatinya suatu amarah, suatu perasaan yang menuntut haknya, ia menuntut suatu keadilan. Demikian pula seorang terdakwa merasa tidak puas ketika diputuskan oleh hakim suatu hukuman yang tak seimbang dengan kesalahannya. Tetapi, bisa saja dua pihak yang bersengketa mengenai suatu perkara merasa puas karena putusan hakim begitu seimbang bagi kedua pihak. Di sini tampak hukum sebagai hal yang tak teraba ialah pengharapan akan suatu ke­adilan.
Dari hal di atas itu terlihat hukum sebagai perilaku atau aktivitas orang dan lembaga, sebagai kaidah-kaidah hukum, dan sebagai nilai-­nilai yakni keadilan. Inilah yang disebut sebagai tiga dimensi hukum
oleh Prof. Dr. Soerjono Soekanto, SH, MA (1983:13; 1986:1?,). Tiga dimensi itu ialah dimensi nilai, dimensi kaidah, dan dimensi perilaku. Apabila ketiga dimensi itu diuraikan secara teoretis maka:
Hukum mempunyai dimensi nilai. Nilai adalah ide atau gagasan tentang sesuatu yang bersifat abstrak. Nilai bisa berasal dari filsafat tertentu atau dari suatu pandangan hidup. Nilai bisa berupa kebaikan, kebenaran dan kebagusan; atau kebalikannya yakni keburukan, kesalahan dan kejelekan. Dalam hukum, nilai mempunyai sifat sebagai keharusan dan kebolehan. Kebolehan merupakan jalan tengah antara keharusan dan keadaan Was Sollen dan das Sein). Nilai keharusan dati kebolehan merupakan perwujudan dari nilai kebaikan. Kebaikan dikaji dalam filsafat bidang etika. Keharusan mengandung perintah dan sanksi sebab nilai keharusan berhubungan dengan kekuasaan. Nilai-nilai hukum terkandung dan termuat dalam kaidah­kaidah. Nilai-nilai ini menjadi obyek kajian filsafat hukum.
Hukum mempunyai dimensi kaidah. Kaidah berisi nilai-nilai tertentu. Kaidah merupakan pedoman atau petunjuk dalam berperilaku. Kaidah memberi tanda bagaimana dan ke mana kita harus berbuat. Kaidah bisa berwujud tertulis, tidak tertulis dan tercatat. Kaidah tertulis merupakan pranata hukum yang sengaja disusun, terorganisasikan dan dikaitkan dengan lembaga-lembaga hukum tertentu, dikuatkan dan dilegitimasikan dengan sesuatu kekuasaan atau kewibawaan tertentu. Kaidah tidak tertulis tumbuh dala:n kebiasaan dan pembiasaan dalam perilaku masyarakat, dapat merupakan penjabaran dari kaidah tertulis 2tau dapat pula tumbuh dalam pergaulan masyarakat secara langsung. Sedangkan kaidah tercatat merupakan rekaman dari kaidah tidak tertulis yang masih aktual atau yang sudah menyejarah. Kaidah tercatat harus sudah mendapat validitas secara ilmiah.
Kaidah-kaidah itu dapat diwujudkan berupa perilaku hukum berdimensi perilaku. Perilaku itu membentuk keteraturan yang tertib. Keteraturan itu terjadi karena tumbuh dalam kebersamaan yang disebut masyarakat. Sebagai kaidah, perilaku hukum mengandun:g nilai. Perilaku tersebut bisa merupakan pelaksanaan dari kaidah yang sudah ditentukan atau bisa juga menjadi hukum karena keterbiasaa.n dan pembiasaan. Perilaku hukum merupakan wujud paling konskekwen dari hukum.
Dimensi-dimensi perilaku, kaidah dan nilai tersebu: Japat ;uga disebut sebagai realitas hukum, norma hukum dan ide hukunu Tiga dimensi hukum ini hatnpir mendekati tiga wujud kebudayaan d Koenjaraningrat (1979:201) yakni
i) wujud kompleks ide-; gagasan, niiai-nilai, norma-nor:na, peraturan,
ii) wujud benda-bec; hasil karya manusia, dan
iii) kompleks aktivitas serta tindak berpola dari manusea dalam masyarakat. Ketiga wujud kebudaya itu tidak paralel dengan tiga dimensi hukum karena wujud nort dalam tiga wujud kebudayaan dimasukkan ke dalam wujud norma dalam wujud ide-ide. Di samping itu Linton (1962:34) membedak tiga konsep kebudayaan yakni yang materiil berupa hasil-hasil ker yang kinetis berupa tingkah laku yang nyata, tian yang psikolol berupa pengetahuan, sikap pandangan dan nilai-nilai yang dimil: bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat.
Dapat dikatakan bahwa hukum adalah kebudayaan. Seba€ kebudayaan, hukum adalah ciptaan manusia. Hukum merupak, hasil akalbudi dan fisik manusia atau hasil dari kesatuan badan d, rohani manusia. Dimensi ide-ide hukum berada atau terletak dala akalbudi . manusia yang bersifat abstrak dan rohaniah. Dimer perilaku hukum terletak dalam wujud fisik dari gerak manusia seN itu bersifat konkret dan badaniah. Sedangkan dimensi kaidah terlet~ antara kedua hai itu. Oleh sebab itulah maka dibedakan antara unsi yang bersifat idiel dan unsur yang bersifat riel (Soerjono Soekanto Purbatjaraka, 1982:14) atau bahwa hukum terikat pada tatanan ide dan tatanan kenyataan (Satjipto Rahardjo, 1982:16-20).
Tiga Wujud Kebudayaan Tiga Dimensi Sifat Dimensi Hukum Dua Tatanan
Koentjaraningrat Hukum Soerjono Soekanto Satjipto Rahardjo
Soerjono Soekanto Pumadi Purbatjaraka
Kompleks ide-ide, gagas­
an, nilai-nilai, norma- Dimensi Nilai Unsur Idiel Tatanan norrna, peraturan Ideal
Benda-benda hasil karya manusia Dimensikaidah Kompleks aktivitas serta
tindakan berpola dan ma- Dimensi perilaku Unsur riel Tatanan nusia dalam masyarakat
kenyataan
Terlihatlah ada keistimewaan dalam kaidah hukum karena di dalamnya sudah ada nilai hukum dan perilaku hukum. Kaidah hukum seperti itu pada dasarnya adalah hasil karya manusia. Hukum merupakan perwujudan dari arus pemikiran manusla sejak berabad-­abad dan di segala tempat oleh setiap manusia dan merupakan hasil dari perbuatan manusia di alam semesta ini. Sebab itu maka hukum itu ialah kebudayaan.
Sebagai ciptaan manusia, hukum bukan ciptaan dari suatu alam supranatural. Hukum bukan perbuatan alam gaib. Hukum dibuat dengan sengaja oleh manusia dan untuk kepentingan manusia sebab itu bersifat artifisial. Bisa saja hukum bersumber pada ajaran-ajaran agama atau Wahyu Tuhan yang tertulis dalam Kitab Suci, tetapi ajaran-ajaran agama atau Wahyu Tuhan itu dapat menjadi hukum apabila secara sadar dan sengaja memasuki hubungan-hubungan hukum yang berakibat hukum dengan legitimasi dan validasi ter­tentu.
Sebagai suata hal yang artifisial, hukum mengacu pada ruang dan waktu. Dalam suatu ruang dan waktu berlaku hukum dari ruang dan waktu tersebut. Dalam ruang yang lain berlaku hukum dari ruang dan waktu yang lain pula. Karena hukum bukanlah sesuatu yang kekal maka intensitas dan efektivitas hukum sangat tergantung dari sejauh mana hukum mengikuti perkembangan zaman. Dari struktur­nya, hukum terlihat sebagai hal yang cenderung mempertahankan status quo. Hukum berusaha untuk menghindar dari perubahan. Hukum menjaga stabilitas. Ketika seorang hakim mengadili dan memutuskan perkara maka ia berusaha untuk mene:apkan undang­undang setepat-tepatnya, lebih-lebih seorang jaksa berusaha untuk membela undang-undang itu dari penyelewengan. Sungguh mulia tujuannya. Hukum tidak menghendaki terjadinya anarki.
Tetapi, apabila perkembangan masyarakat berjalan ke arah yang lain dari apa yang tertuang dalam suatu kaidah hukum, apakah yang akan terjadi? Yang akan terjadi ialah proses tarik-menarik. Jika terjadi hal yang seperti itu maka yang berperan ialah kedaulatan rakyat dan kemampuan kekuasaan. Apabila yang terjadi ialah hal yang seperti itt; maka bLkan hanya antara hakin: dan tcrdakwa terhadapan, tetapi keadaannya sudah memasui:i tahap kenegaraan dan kebangsaan.
Apabila sejarah filsafat ditelusuri yang terjadi ialah pertemuan antara berbagai aliran. Untuk memahami kekayaan dan keragaman filsafat dapat dilakukan dengan menersngkan berbagai aliran filsafat.
Hal itu terlihat dalam karya Alisjahbana (1977). Terdapat aliran­aliran ontologis seperti: monoisme-dualisme-pluralisme tentang jumlah atau kuantitas dari kenyataan, spiritual isme-materialisme tentang sifat atau kualitas dari kenyataan, determinisme-indeterminisme dari segi berlakunya hukum sebab akibat, dan mekanisme-teleologis. Aliran-;aliran epistemologis yakni rasionalisme-empirisme-kritisme atau transendentalisme tentang asal atau sumber pengetahuan, realisme-' idealisme tentang hakekat pengetahuan. Disebutkan juga antara monoteisme-panteisme dalam teologi.
Di samping itu dalam memahami gejala manusia atau masyarakat dibedakan pula berbagai aliran seperti dalam karya Veeger (1985). Tentang hakekat masyarakat itu ada aliran yang kolektivistis, holistis dan organistis dan aliran yang individualistis, automistis dan ,mekanis­tis. Kemudian ada pula aliran yang menengahi kedua aliran.
Dalam pemikiran hukum selalu ada tegangan antara aliran yang berpendapat bahwa hukum selalu berlaku di mana-mana dan sepanjang waktu sebagaimana terlihat dalam aliran hukum alam .(natural ldw atau lex naturalis) dan aliran yang melihat hukum sebagai hukum yang berlaku pada suatu tempat dan waktu. Munculnya aliran historis dengan tokohnya yakni non Savigny terlihat sebagai suatu reaksi atas pengaruh aliran hukum alam. Begitupun aliran positivisme yuridis sebagaimana terlihat dalam pemikiran von Jhering muncul sebagai reaksi atas aliran historis. Formulasi kedua aliran itu terasa sebagai permasalahan antara bidang ada (das Sein) dan bidang harus (das ~ollen). Dalam pemikiran Hans Kelsen hukum menjadi bidang keharusan, sedangkan bagi Gustav Radbruch hukum mengandung unsur-unsur keduanya. Begitupun dalam aliran Realisme hukum titik perhatiannya lebih pada hukum yang aktual (law in action) dan bukan hukum yang teoretis dan normatif (law in books).
Aliran-aliran hukum itu tidak bisa dipisahkan dari pengaruh aliran-aliraci filsafat pada umurnnya. Aliran realisme hukum dari Amerika muncul sebagai pengaruh dari aliran pragmatisme yang dipelopori William James dan John Dewey. Demikianpun pemikiran Gustav Radbruch adalah pengaruh aliran neokantianisme. Aliran-­aliran hukum itu merupakan juga tegangan atau cennio dari muncul­nya beragam aliran antara monoisrne dan dualisme, rasionalistne dan empirisme, individualisme dan kolektivisme.
Dari pemikiran-pemikiran yang diuraikan selintas dari sejarah filsafat hukum itu, terlihat bahwa set alu terjadi perubahan minat baik yang mengidentikan ataupun yang tidak mengidentikan hukum dengan kaidah hukum dan keadilan. Selalu terjadi perubahan pandangan antara yang mementingkan hat yang abstrak dan hat yang konkrit. Hans Kelsen mengalihkan pemikiran hukum pada analisa norma, tetapi analisanya masih dalam tatanan abstrak yakni berhubungan dengan ide keadilan.
Pemikiran-pemikiran hukum itu sudah tentu tidak secara eksplisit menjawab pertanyaan tentang apakah hukum itu? Sebab itu jawaban­nya menjadi semakin tidak jelas. Lagi pula pemikiran-pemikiran para filsuf tergantung pada situasi dan kondisinya masing-masing. Yang dapat dipelajari dari pemikiran itu terlihat bahwa hakekat hukum para filsuf berkisar antara dualisme yakni hat ideal yakni roh, das Scllen, akal; dan hat riil yakni materi, das Sein, kemauan. Ada pula beberapa pemikiran yang hendak menjembatani dualisme tetapi hat itu tidak eksplisit. Dengan demikian diperlukan pemikiran hukum yang sifatnya monodualistis.
Apabila kita merenungkan wujud hukum terlihat bahwa wujud hukum bersifat monodualistis. Dalam kaidah hukum sudah tercermin adanya suatu nilai tertentu dan adanya suatu pola untuk berperilaku. Kaidah hukum adalah cermin dari kehidupan manusia. Dalam kaidah hukum pola-pola perilaku dan kandungan nilai tercermin sebagai­mana kita melihat wajah kita dalam cermin, sebab itu maka kaidah hukum disebut sebagai pedoman atau sebagai patokan.
Dalam kaidah hukum, nilai dan perilaku berintegrasi. Nilai akan mempengaruhi perilaku mana yang boleh atau tidak dan perilaku mana yaug harus atau tidak untuk dilakukan. Perilaku memberi corak pada nilai yang terkandune dalam suatu kaidah hukum. Dalam pembentukan :APABILA ilmu hukum dipengaruhi oleh ontologi hukum di satu sisi maka di sisi lain ilmu hukum dipengaruhi oleh corak dan War beiakang keilmuan. Ilmu hukum adalah ilmu. Konsep-konsep keilmuan akan mempengaruhi dan menentukan keluasan dan kedalaman ilmu hukum. Konsep keilmuan dalam.ilmu hukum dengan serta merta akan dipengaruhi oleh struktur dan perkembangan hukum. Pertanyaan "apakah hukum itu" akan mempengaruhi dan menentukan cara memandang dan memahami hukum.
Konsep ilmu yang ada pada waktu sekarang merupakan suatu reaksi atas keadaan di masa lalu di mana pengetahuan hatiya didasarkan atAs kcyakinan baik teologis maupun tahyul yang timbul dari mitologi. Di Yunani Kuno filsafat berkembang dari dongeng yang bersifat khayal. Dongeng itu ternyata membawa para filsuf untuk berpikir dan merenung. Muncullah para filsuf ' seperti Pannenides, Pitagoras, Socrates, Plato, Aristoteles dan lain-lain. ,
Reaksi selanjutnya tidak hanya atas •pengeiahuan mitos teologis,i tetapi juga atas pengetahuan metafisis. Hal itu terasa dalam pemikiran Auguste Comte dengan aliran positiVisme dalam sosiologi. Comte berhasil menafikan teologi dan metafisika dan menempatkan ilmu sebagai pengetahuan positif. Walaupun demikian reaksi ini i sudah dimulai dengan adanya usaha Aristoteles untuk menghimpun data misalnya berbagai konstitusi dari tiegara kota (polis) atau usaha untuk melakukan observasi atas binatang dan tumbuhan. Aristoteles memulai penggunaan met ode induksi.Pada zaman berikutnya Copernikus dan Galileo Galilai telah rnenggunakan metode observasi, atas gejala alam di ruang angkasa. Metode induksi dinyatakan dalam filsafat barat oleh Francis Bacon.; Dalam ilmu hukum, pengaruh Comte terasa dalam pemikiran aliran historis seperti von Savigny, Erlich, Puchta dan lain-lain. ! Sejak timbulnya filsafat Yunani, pemikiran hukum selalu bergerak
dalam lingkup persoalan-persoalan hukum alam yang terasa sampai j von Savigny. Hk alam pemikiran von Savigny pusat perhatiar. mengarah pada usaha untuk memahami hukum sebagai gejala masyarakat. Sedangkan dalam pemikiran Kelsen hukum dilihat sebagai gejala normatif. Kelsen lebih nmr.ganalisa kaidah dan kaidah hukum secara eksplisit uan intens.
Positivisme hukum muncul menjadi semacam penolakan atas hukum alam. Positivisme hukum berusaha untuk memurnikan ajarannya dari premis-premis hukum alam. Sebab itu maka ajarannya disebut reine rechtlehre. Tetapi, ajaran positivisme hukLm tidak seratus persen murni. Dalam ajarannya masih dapat ditemukan Grondnorm yang lebih bersifat filosofis.
Demikianpun dalam sosiologi hukum. Sosiologi hukum masih diramaikan dengan bahasan mengenai berbagai pemikiran dari para ahli hukum dan ahli sosiologi. Hal ini cenderung. menjadikan sosiologi hukum sebagai arena pentas perdebatan pemikira.n. Sosiologi hukum masih bersifat filosofis reflektif.
Jadi, dalam ilmu hukum pembahasan mengenai hukum sebagai hal yang rasional berupa ide-ide abstrak dan hukum sebagai hal yang nyata berupa fakta-fakta konkret masih tumpang tindih, tidak bisa dibedakan secara ketat dan keras: Pembedaan-pembedaan antara hukum alam dan sosiologi hukum sebagai perwvjudan antara fakta dan ideal hanyalah pembedaan intelektual yang sengaja dibuat manusia. Mengenai hal ini Ernest Casirer (1987:84-93) menerang­kannya dengan jelas. Dalam pemikiran Imannuel Kant pembedaan antara hal realitas dan kemungkinan merupakan suatu "keharusan". Membedakan, terutama pembedaan antara fakta dan ideal merupakan manifestasi dari pemikiran rene Descartes ter.tang 'clara et distincta'­nya. Jadi, pembedaan antara fakta dan ideal adalah suatu hal yang ideologis, bertujuan, bukan kenyataan itu sendiri. Pembedaan itu merupakan siasat intelektual dalart't rangka memperjelas pem­bahasan.
Ilmu hukum dapat difahami sebagai penerapan konsep-konsep ke­ilmuan dalam memahami dan menerangkan hukum. Dalam rangka mencapai usaha ini ada kemungkinan bahwa konsep-konsep keilmuan yang berasal dari ilmu alam diterapkan ke dalamnya. Dalam keadaan seperti itu sudah tentu obyek dari ilmu hukum }1arus dapat dicerap oleh pancaindra maausia. Dalam wujud seperti ini hukum dipandang sebagai gejala sosial. Dari segi ontologis, penyamaan hukum sebagai gejala sosial cenderung melihat hukum hanya sebagai hubungan sosial, tidak melihat hukum yang ada dalam hati nurani manusia yakni keadilan dan yang tercermin dalam kaidah-kaidah. Dari segi epistemologis, pandangan seperti itu menempatkan ilmu hukum menjadi apa yang disebut AF Chalmers (1983:2-6) sebagai induktivisme naif. Usaha ilmu hukum menjadi penghimpun fakta sebanyak-banyaknya dan hanya sekedar untuk menguatkan bukti-­bukti observasi.
DARI latar belakang di atas itu terlihat bahwa persoalan ilmu hukum yang mendasar ialah bahwa ilmu hukum terombang-ambing dalam berbagai arus aliran yang muncul baik dalam filsafat dan ilmu maupun dalam hukum sehingga ilmu hukum tidak bersifat integral. Ada aliran yang hanya memusatkan penyelidikannya pada kaidah­kaidah semata-mata seperti aliran positivisme hukum. Ada aliran yang melihat pada hakekat dan fungsi sosiologis dari hukum semata­mata seperti pada aliran sociological jurisprudence. Ada pula'aliran yang hanya memperbincangkan keadilan. seperti dalam aliran hukum alam. Parahnya, ilmu hukum sering diidentikan dengan salah satu aliran seperti dengan aliran positivisme hukum. Sebab itu ilmu hukum perlu mendapat sifat ititegralitasnya baik dari aspek ontologis, epistemologis maupun aksiologis. Dalam karangan ini pengarang berusaha untuk mencari suatu ilmu hukum yang integral dan otonom, mencari kemungkinan-kemungkinannya dan keterkaitannya dengan studi yang lain.
Pertama, ilmu hukum dikaitkan dengan filsafat dan filsafat hukum, kemudian dikaitkan juga dengan ilmu. Ilmu'hukum sering diidentikan dengan hukum itu sendiri. Mereka yang membahas hukum sering seakan-akan sedang berbincang-bincang tentang ilmu i,
hukum. Mereka tidak menyadari bahwa ilmu hukum tidak paralel dengan hukum. Ilmu hukum dapat mencuat berkembang lebih jauh I dari perkembangan hukum. Ilmu hukum mempunyai daya meramal­kan yakni melihat kemungkinan-kemungkinan dan pengharapan­pengharapan yang akan dan mungkin perlu di masa mendatang. i
Sedangkan perkembangan hukum berhenti pada masa lalu d an masa ' sekarang sebab itu ilmu hukum sering juga disebut ilmu hukumpositif. Sering pula ilmu hukum dianggap sebagai sekumpulan informasi tentang hukum. Pelajaran ilmu hukum sering hanya sebagai bekal berupa sejumlah definisi istilah-istilah hukum untuk mempelajari hukum lebih lanjut.
Kedua, ilmu hukum dikaitkan dengan ilmu sosial. Ilmu hukum sering lebih difahami sebagai ilmu yang menerapkan istilah-is;ilah dan metode ilmu sosial. Penelitian hukum menjadi sebagian dari penelitian sosial. Akhirnya dalam keadaan ekstrim ilmu hukum identik dengan ilmu sosial dan hukum itu sendiri identik dengan masyarakat. Hal ini sudah tentu mempengaruhi ruang lingkup ilmu hukum. Sering hasil penelitian yang tidak bersifat ilmu sosial tidak diakui sebagai suatu hasil penelitian ilmu hukum. Ilmu.' hukum sebagai ilmu sosial sering melalaikan pemahaman normatif clan humanistik.
Ketiga, ilmu hukum sering difahami sebagai ilmu yang ber­kecimpung dengan peraturan-peraturan. Penelitian hukum menjadi penafsiran atau penemuan hukum. Mereka terdampar ke dalam ke­sukaran karena penafsiran atau penemuan hukum bersifat praktikal, tidak berorientasi teoretis. Yang berhak menafsirkan hukum ialah hakim. Merekapun memiliki batas dalam melakukannya. Dalam hal ini diperlukan suatu penyusunan clan penafsiran kembali atas metode­metode penafsiran hukum atau penemuan hukum apabila akan dipergunakan sebagai suatu metode ilmu hukum.
Keempat, kita memerlukan suatu ilmu hukum yang otonom dan integral. Memahami hukum secara sebidang dan sebagian tidak mencukupi, tetapi ilmu hukum tidak perlu terjerumus ke dalam realisme (menggunakan metode dan struktur ilmu sosial) clan ticlak terjerumus pula ke. dalam idealisme (menggunakan metode dan struktur filsafat clan heurmenetik). Kita memerlukan suatu gambaran ilmu hukum yang meliputi aspek ontologis. epistemologis dan aksiologis.
Secara keseluruhan karangan ini berusaha untuk menempatkan ilmu hukum dalam pemahaman sebagai pengetahuan ilmu dan pengetahuan filsafat. Ilmu hukum berusaha untuk difahami dalam pengertian dasar sebagai sistem pengetahuan sehingga ilmu hukum l dapat dibebaskan dari kesalahfahaman yang memandang ilmu hukurii sebagai sistem hukum. Walaupun ilmu hukum bukan sistem hukum tetapi ilmu hukum mempunyai kekuatan dengan kemungkinannya menjadi suatu sumber hukum.
BAB II
HUBUNGAN ANTARA ILMU DAN FILSAFAT DENGAN ILMU HUKUM DAN FILSAFAT HUKUM
ANTARA ilmu dan filsafat di satu sisi dengan ilmu hukum dan filsafat hukum di sisi lain terdapat suatu hubungan yang bersifat timbal balik. Demikian juga antara ilmu hukum dan filsafat hukum, antara ilmu dengan ilmu hukum, antara filsafat dengan filsafat hukum, dan antara ilmu dengan filsafat hukum. Sebab itulah timbul per­tanyaan mengenai sifat dan makna hubungan-hubungan itu. Secara khusus timbul juga pertanyaan: apakah hubungan antara filsafat hukum dan ilmu hukum itu bersifat otonom ataukah tidak? Pertanyaan seperti itu akan terjadi apabila hal mendasar mengenai konsep ilmu dan filsafat difahami terlebih dahulu.
Filsafat dan Ilmu
ILMU dan filsafat adalah disiplin intelektual. Artinya, ilmu dan filsafat adalah hasil dari intelektual manusia: Walaupun data-data ilmu berasal dari kenyataan, pengolahannya mempergunakan ke­mampuan akalbudi atau intelektual. Tahap hipotesa, perumusan masalah, konklusi lebih merupakan kegiatan akalbudi. Dalam filsafat, refleksi merupakan suatu proses berpikir yang berspehculatif dan kritis. Jadi, ilmu dan filsafat adaIah disiplin intelektual karena tidak bisa dilepaskan daii kegiatan akalbudi yang berpikir dan merasa. .
Predikat disiplin dalam ilmu dan filsafat berau.i ilmu dan filsaf-.: itu memerlukan keteraturan. Wujud dari keteraturan ialah dengan digunakannya beberapa konsep klasifikasi dan sistematisasi. Klasifi­kasi atau sistematisasi selalu dan hampir selalu didasari oleh konsep tertentu yang sudah ada sebelumnya. Konsep-konsep itu bisa berupa p:r.d::ngzn hid>>p yang secara tidak sadar sudah tersirat dianut atau bisa berupa prinsip-prinsip pertama (prima principia) yang beTasal dari filsafat.
Keteraturan juga tampak dengan dipergunakannya metode yang disadari dan terencana. Metode dasar dari filsafat ialah refleksi atau perenungan yang mempergunakan pemikiran spekulatif dan kritis, dalam metode ilmu adanya observasi atau pengamatan.
Filsafat dan ilmu adalah hasil usaha manusia. Sebagai hasil usaha manusia, filsafat dan ilmu adalah suatu kebudayaan. Dalam wujud kebudayaan, filsafat dan iimu dapat dimasukkan ke dalam wujud yang abstrak berupa ide-ide atau gagasan-gagasan, tetapi sebenarnya bisa juga dimasukkan dalam wujud karya. Sebagai usaha manusia, filsafat dan ilmu dapat dimasukkan ke dalam empat unsur eksistensi manusiawi (The Liang Gie, 1979) dan dua unsur lainnya ialah seni dan agama. Sebagai hal yang eksistensial, filsafat dan ilmu menentt}kan tempat dan peranan manusia di tengah-tengah alam semesta. Keadaan seperti ini menentukan hakekat dari ilmu dan filsafat itu sendiri.
Filsafat dan ilmu adalah pengetahuan. Pengetahuan adalah sejumlah informasi tentang sesuatu hal dan merupakan suatu proses mental yang terdapat dalam diri manusia berupa rasa tahu. Rasa tahu ada pada setiap orang sehingga rasa tahu adalah hal yang esensial pada manusia. Kita bisa menyadari adanya manusia didasarkan oleh rasa ingin tahu (Poedjawijatna, 182:9). Pengetahuan mendasari filsafat dan ilmu, juga seni dan agama. Pengetahuan merupakan persatuan antara subyek dan obyek secara ekstrinsik maupun intrinsik, persati4an ini bersifat relasional (Pranarka, 1987:36). Pengetahuan beraneka ragam dan bervariasi. Yang membedakan antara satu pengetahuan dengan pengetahuan lainnya ialah kondisi dan intensitasnya. Pengetahuan dapat dibedakan antara pengetahuan indrawi, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filosofis dan pengetahuan ' religius (Gazalba,. 1973:21). Keempat pengetahuan itu secara konkrit cukup disebut pengetahuan (knowledge), ilmu (science), filsafat (philosophy) dan teologi (theology). Dalam hal ini seolah-olah ada pemisahan antara ilmu dan filsafat. Memang, tampaknya sejak awal seolah-olah ilmu dan filsafat dipisahkan. Pemisahan ilmu dan filsafat ini hanya bers;fat pem;sahan derajat (difference of degree) dan bukan pemisahan jenis (difference of kind) (Olson, 1967:16). Pemisahan ilmu dan filsafat ini mengalami perkembangan secara historis.
Pada mulanya pengetahuan filsafat dan ilmu merupakan satu kesatuan. Keduanya cukup disebut filsafat saja. Filsafat adalah studi tentang semua pengetahuan. Dalam zaman Renaissance filsafat disebut The Great Mother of the Sciencc Hampir semua ilmu yang ada sekarang dapat ditelusuri sampai pada filsafat Yunani Kuno. Da1am perkembangannya timbul sejenis pengetahuan yang secara langsung diperoleh dari fakta-fakta yang dihimpun lewat observasi. Perolehan pengetahuan mensyar2_tkan bahwa fakta-fakta harus dapat terukur secara kuantitatif dan fakta-fakta itu dapat dicerap minimal oleh pancaindra manusia. Pengetahuan tersebut disebut "science". Pada mulanya khusus mempelajari alam yang dapat diamati oleh mata kepala sendiri maupun dengan mempergunakan alat bantu seperti teleskop, mikroskop dan lain-lain, kemudian dengan munculnya positivisme Auguste Comte "science" `merambah pada gejala-gejala sosial. Gejala adanya science sebenarnya sudah terasa sejak Aristoteles menghimpun konstitusi dari berbagai polis (negara kota) di Yunani dan mengamati kehidupan binatang dan tumbuhan. Semakin majunya jenis pengetahuan science ini mengakibatkan banyak obyek dari filsafat berdiri sendiri dan memisahkan diri. Dan kini antara filsafat dan ilmu seolah-olah merupakan dua pengetahuan yang terpisah. Ilmu diidentikkan dengan pengetahuan empirik dan filsafat dengan pengetahuan rasional.
Kini terasa ada berbagai ketidakpuasan atas pengetahuan yang rasional semata-mata atau pengetahuan empirik s~-mata-mata. Sebab itu timbul berbagai usaha untuk mengintegrasikan ilmu dan filsafat.
Dalam ilmu-ilmu empirik, bantuan filsafat sangat diperlukan sebab i ilmu-ilmu itu ternyata terlalu fragmentaris, maEit. positif dan lain­lain. Demikianpun dalam filsafat, bantuan ilmu-ilmu sangat diperlukan, filsafat tak mungkin hanya bersifat ar ekulatif atau kritts sebagai permainan gagasan-gagasan, filsafat memerlukan data-data yang diperoleh dari ilmu-ilmu. Sebab itu diajukan metode interdisipliner dan multidisipliner.
Dengan demikian terjadi gejala relativitas dalam batas-batas antara ilmu dan filsafat. Walaupun demikiar. adanya batas-batas itu masih begitu k-uat. Para ahli masih memperdebatkan batas-batas antara ilmu dan filsafat. Ilmu dan filsafat masing masing memiliki otonomi dan batas-batasnya masih dapat ditarik.
Perbedaan yang sangat umum ialah bahwa filsafat lebih me­musatkan diri pada "pertanyaan-pertanyaan meridasar" atau basic or fundamental questions (Olson, 1967:17). Sedangkan ilmu lebth memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang bersifat faktual yzkni gejala-gejala yang dapat dialami dan diamati minimal oleh panca­indra manusia, pada gejala-gejala yang bersifat natural yakni gejala­gejala alamiah yang dapat terjadi secara berulang, teratur, terukur, dapat diramalkan dan terjadi secara kausal.
Filsafat lebih bersifat universal dan integral. Universal berarti bukan partikular. Filsafat tidak hanya memusatkan perhatian pada bagian-bagian tertentu dari kehidupan di alam semesta ini tetapi memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang menyeluruh. Berbeda dengan ilmu, ilmu lebih-memusatkan perhatian pada gejala-gejaia secara fragmentaris dan spesialistis. Artinya, ilmu hanya memper­hatikan hal atau bagian tertentu saja dari kenyataan. Sebab itu dalam ilmu tumbuh berbagai bidang yang masing-masing terkadang berjalan sendiri-sendiri. Dalam filsafat, keadaan seperti itu tidak terjadi. Memang, filsafat juga mengenal bidang-bidang tetapi se­benarnya bidang-bidang itu hanya susunan akademik dan intelektual belaka sebab di saat seorang filsuf merefleksikan kenyataan batas­batas atas bidang-bidang itu tidak membatasi. Sifat universalitas filsafat dapat berarti pula filsafat tidak hanya memandang gejala­gejala yang bersifat ekstrinsik tetapi juga memandang ke dalam diri secara intrinsik. Dapat dikatakan pula bahwa filsafat bersifat introspektif dan implikatif.
Ilmu tidak berwenang untuk meninjau hakekat dirinya sendiri atau struktur intrinsik. Bagi ilmu, suatu peninjauan atas hakekat ilmu ada di luar jangkauannya. Yang berwenang melihat hakekat ilmu ialah filsafat. Misalnya, apakah yang menjadi hakekat pengalaman yang mendasari ilmu? Jawaban atas pertanyaan ini menjadi wewenang filsafat, dalam ilmu jawabannya tidak relevan. Bagi ilmu, pengalaman cukup hanya berfungsi sebagai tolok ukur validitas.
Filsafat tidak dapat dilepaskan dari seiarahnya. Sebaliknya seorang ilmuwan tidak perlu tr.eng:,tahu: sejarah i:rr.uaya (Ecrter.s, 1987:25). Filsafat mempunyai aspek historis yang tinggi karena adanya kehendak untnk selalu mengacu pada koherensi. Sedangkan I6
ilmu lebih mementingkan kesetiaan pada kebenaran fakta yang dapat diukur minimal dengan pancaindra manusia sehingga aspek. historis­nya tidak begitu penting. Pemikiran filsafat lc,bih bersifat personal sehingga nilai filsafat dari seorang filsuf mempunyai derajat yang sama dengan filsafat dari filsuf lain. Filsafat bersifat mewakili zamannya sehingga nilai filsafat di zaman dahulu dapat mempunyai nilai yang sama dengan filsafat pada waktu sekarang. Mungkin saja berbeda dari segi kegunaannya tetapi masalah kegunaan tidak relevan dalam menilai filsafat. Masing-masing pemikiran fi'.safat mempunyai keunikannya. Sedangkan hasil keilmuan yang terbukti salah dapat dianggap tidak relevan lagi. Dalam ilmu alam (Berling, 1966:19) ilmuwan tidak akan kembali pada gambaran dunia yang sudah disalahkannya.
Ilmu tidak mempermasalahkan implikasi dari teori atau pe­nemuannya (Olson, 1967:68). Ilmu adalah suatu hal yang bebas nilai (value free). Pandangan ini tidak bersifat mutlak sebab ada yang beranggapan bahwa sebenarnya ilmu yang bebas nilai itu adalah juga tidak bebas nilai. Sebagaimana dikatakan di atas filsafat bersifat introspektif. Dalam filsafat, pertimbangan yang menyerempet pada hal-hal yang tidak menjadi pusat perhatiannya adalah perlu untuk mencapai universalitas. Filsafat menganggap perlu untuk memper­masalahkan implikasi dari hasil pemikirannya­
Dari beberapa hal yang membedakan antara ilmu clan filsafat di atas terlihat bahwa masih ada beberapa hal yang memisahkan ilmu clan filsafat. Masihada otonomi antara ilmu dan filsafat yang ` membedakan tetapi tidak memisahkan.
Konsep Filsafat dalam Filsafat Hukum
Filsafat hukum adalah filsafat tentang hukum. Hal ini berarti obyek dari filsafat hukum ialah hukum. Sebagai filsafat, filsafat hukum tunduk pada sifat-sifat, cara-cara dan tujuan-tujuan dari filsafat pada umumnya. Di samping itu hukum sebagai obyek dari filsafat hukum akan mempengaruhi filsafat hukum. Dengan demik~au secara timb: i balih antara filsafat Imku:n dan filsafat sal:-,;g b°r­lmbungan. Z-ang menjadi soal ialah mengenai kualitas d;:n l:ubuagan itu dalam kai:anny2 dengan konsep kefilsafatan.
Dapat dikatakan bahwa filsafat hukum merupakan bagian khusus dari filsafat pada umumnya. Ini berarti filsafat hukum hanya mempelajari "hukum" secara khusus. Artinya, hal-hal non-hukum
menjadi tidak relevan dalam penelitian filsafat. Penarikan ;;esimpulan seperti ini sebetulnya tidak begitu tepat. Seperti sudah dikatakan pada bagian yang lalu, filsafat itu bersifat introspektif atau memper­gunakan daya upaya introspektif. Artinya, filsafat tidak hanya men­jangkau kedalaman dan keluasan dari permasalahan yang dihadapi tetapi juga mempertanyakan peranan dari dirinya clan dari per­masalahan tersebut, filsafat mempertanyakan dari struktur dalam dirinya clan permasalahan yang dihadapinya. Filsafat juga bersifat universal. Filsafat memandang kehidupan secara menyeluruh, tidak memandang hanya bagian-bagian dari gejala kehidupan saja (secara partikular). Dengan demikian, filsafat dapat menukik pada persoalan lain yang relevan atau menerawang pada keseluruhan dalam per­jalanan reflektifnya, tidak hanya memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Dalam filsafat, pertimbangan-pertimbangan di, luar obyek adalah salah satu ciri khasnya. Filsafat tidak bersifat bebas nilai. Justru filsafat menimba nilai yang berasal dari hidup dan pemikiran. Sifat introspektif clan universal dari filsafat sesuai dengan sifat manusia yang memiliki hakekat dapat mertgambil jarak (distansi) tidak hanya pada hal-hal yang di luarnya tetapi juga pada dirinya sendiri. Jadi, filsafat hukum tidak semata-mata 'merefleksikan hukum hanya dari segi hukum, tetapi juga merefleksikan hukum pada kehidupan yang lebih luas, lebih mendalam dan lebih intens.
Filsafat hukum sebagai suatu filsafat yang khusus mempelajari hukum hanyalah suatu pembatasan akademik clan intelektual saja dalam usaha, studi clan bukan menunjukkan hakekat dari filsafat hukum itu sendiri.
Filsafat hukum memahami hukum secara spekulatif dan kritis. Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan pertanya­an-pertanyaan mengenai hakekat hukum. Pertanyaan-pertanyaan itu
menimbulkan rasa sangsi clan rasa terpesona atas suatu kebenaran yang dikandung dalam suatu persoalan. Apabila jawaban jawabannya diperoleh maka jawaban-jawuban ita disusln dalam suatu sistem pemikiran yang universal dan radikal. Secara kritis, filsafat hukum
berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudalv ada, melihai koherensi, ko:espondensi dan fungsinya. Filsafat hukum berusaha untuk memeriksa nilai dari p~-.rnyataan-pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai hukum.
Konsep Ilmu dalam Ilmu Hukum
Demikianpun halnya dengan ilmu hukum. Ilmu lmkum adalah ' ilmu tentang hukum. Obyeknya ialah hukum. Dengan demikian ; konsep ilmu juga melekat pada ilmu hukum. Ada beberapa persoalan konseptual yang berhubungan dengan ilmu hukum jika konsep ilmu melekat pada ilmu hukum.
Jika ilmu dalam ilmu hukum dilihat sebagai konsep ilmu dalam ilmu-ilmu alam maka ilmu hukum sama seperti ilmu-ilmu lainnya. Tetapi, jika konsep ilmu dalam ilmu hukum dipandang sebagai konsep yang khas yang berbeda dengan konsep ilmu pada ilmu-ilmu alam maka ilmu hukum menjadi suatu ilmu yang khas dan khusus. Penerapan metode ilmu-ilmu alam dalam ilmu hukum akan menempatkan ilmu hukum menjadi suatu ilmu yang dikategorikan sebagai ilmu sosial. Ilmu hukum akan menjadi suatu ilmu yang empiris dan positif. Ilmu hukum akan didasari oleh prinsip-prinsip masyarakat yang mendasari sosiologi dan antropologi. Hukum diidentikkan dengan masyarakat dan masyarakat diidentikkan dengan gejala alam. Pemahaman atas hukum dilakukan dengan mencari hukum-hukum yang tetap dari gejala atau peristiwa-peristiwa hukum. Metode penelitian dilakukan dengan mempergunakan observasi atau pengamatan. Dalam gejala hukum dianggap terjadi juga kausalitas.
Apabila ilmu hukum dipandang sebagai suatu ilmu yang khas yang bukan ilmu sosial maka ilmu hukum dapat dikategorikan sebagai ilmu tentang kaedah. Dalam hal ini pandangan Hans Kelsen mewarnai sifat ilmu hukum seperti itu. Teori Hans Kelsen disebut Reine Rechtlehre atau the Pure Theory of Law atau teori murni tentang hukum. Pandangan ini ingin melepaskan hukum dari pandangan-pandangan yang didasarkan nada prinsip kausalaas seperti yang diterapkaa dalan: ilmu-ilmu sosiologi, psicology dan lain-lain yang menerapkan metode ilmu alam.
Kedua kecenderangan itu terjadi karena perbedaan penggunaan istilah. Dalam kecenderungan pertama ilmu adalah salinan atau terjemahan dari "science" dalam bahasa Inggris yang sebenarnya
digunakan untuk ilmu-ilmu alam. Sedangkan dalam kecenderungan kedua ilmu adalah terjemahan dari istilah "wissenschaft" yang bukan saja untuk menamakan Naturwissenschaft tetapi juga untuk menamakan Geistenswissenschaft atau Kulturwissenschaft.
Dalam beberapa karya Prof. Dr. Soerjono Soekanto ilmu hukum meliputi ilmu tentang kaidah, ilmu tentang pengertian dan ilmu tentang kenyataan. Dalam pembagian ilmu hukum tersebut sudah terkandung adanya dua kecenderungan di atas.
Prof. Mr: Dr. L. J. van Apeldoorn dalam buku Pengantar Ilmu Hukum (1980) memasukkan ke dalam ilmu pengetahuan hukum yakni sosiologi hukum, sejaran hukum, dan perbandingan hukum. Begitupun E. Utrecht dalam bukan Pengantar Dalam Hukum Indonesia (1966) memasukkan sejarah hukum, sosiologi hukum, perbandingan hukum dan pelajaran hukum umum sebagai cabang­cabang ilmu hukum bantu dari ilmu hukum positif. Sedangkan dalam buku panduan mahasiswa susunan JB Daliyo, SH cs berjudul Pengantar Ilmu Hukum ke dalam ilmu-ilmu pembantu bagi flinu hukum dimasukkan sejarah hukum, sosiologi hukum, perbandingan hukum, antropclogi hukum, psikologi hukum, politik hukum dan filsafat hukum. Sedangkan Prof. Dr. DHM Meuwissen (dalam artikel yang diterjemahkan oleh B. Arief Sidarta) yang berjudul Ilmu Hukum membagi jenis jenis ilmu hukum ke dalam ilmu hukum dogmatik dan ilmu hukum empiris.
Perlu pula dicatat bahwa van Apeldoorn (1980:409) menyebut­kan pula adanya ilmu pengetahuan hukum dogmatis atau sistematis. iJtrecht sendiri hanya menyebutkan cabang-cabang tersebut
hanya sebagai ilmu hukum positif.
Malahan dalam buku paduan dimasukkan juga politik hukum dan filsafat hukum. Jadi, dapat dikatakan bahwa konsep ilmu dalam ilmu hukum yang banyak dianut ialah konsep ilmu dalam arti luas, sebagai salinan atau terjemahan dari "wissenschaft".
Konsep ilmu dalam. Ilmu hukum juga mempunyai sifat dan cakupan yang bersifat praktikal dan teoretikal. Sifat praktikal .
terbawa oleh hakekat dan kondisi hukum karena huknm itu di satu sisi seperti selalu mengarah pada prakrek dan diarahkan oleh perkembangan dalam situasi dalam praktek. Sifat teoretikal terbawa oleh hakekat dari ilmu yang memerlukan logika dan abstraksi dalam perumusannya.
CA van Peursen (1990:40) memasukkan ilmu hukum ke dalam ilmu-ilmu terapan dan ilmu-ilmu praktis. Dalam ilmu yang tergolong ke dalam ilmu-ilmu terapan dan praktis ini terkandung penilaian dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan di samping pe­nilaian sahih atau tidak dan benar atau salah. Tetapi, dengan penggolongan ini tidak dengan sendirinya ilmu hukum tidak termasuk ke dalam ilmu murni.
Harsojo (1977:47) memasukkan ke dalam ilmu murni yakni fisika, astronomi, matematika, kimia, sosiologi, ilmu politik, yuris­prudensi, zoologi, botani, geologi, sejarah, ekonomi; ke dalam ilmu terapan termasuk bangun karya, navigasi, akuntansi, farmasi, ilmu obat-obatan, politik, hukum, peternakan, pertanian, bangun karya minyak, jurnalistik, tata niaga, administrasi. diplomasi. Dalam pembedaan ini terlihat bahwa bidang yang tergolong ke dalam ilmu 'terapan dapat diacu pada bidang ilmu murni.

- Pembedaan antara ilmu murni dan ilmu terapan tidak mutlak. ,.
bersifat nisbi (van Melsen, 1985:50-51). Judi. sebenarnya tidaklah begitu jelas apakah suatu ilmu itu murni atau tidak. Yang mem­bedakan kemurnian dan kepraktisan suatu ilmu ialah dari segi `"manfaat"-nya (Kleden, 1987:24-25), bukan dari segi hakekatnya,
i kimia dibedakan dari ilmu farmasi dan ilmu obat-obatan karena satu pemanfaatannya- tetapi- masalah teoretisasi struktur kimianya tetap sama.
Dengan adanya relativitas pembedaan antara ilmu murni dan ilmu terapan maka ilmu hukum tidak mutlak dimasukkan ke dalam ilmu terapan. Sebenarnya bukanlah masalah penggolongan ilmu hukum ke dalam ilmu terapan dan atau ke dalam ilmu murni yang terpenting, tetapi ialah bahwa ilmu hukum mempunyai sifat praktikal dan teoretikal. Ilmu hukum dengan metode Fener.laan l:u'.cs.^.Zr.ya tembuh dalam praktek hukum. Dalam praktek hukum pendekatannya
lebih fungsional dan pragmatis. Praktek hukum lebih memerlukar. pendekatan yang langsung pada sasaran.
Filsafat Hukum, Ilmu Hukum dan Hukum
Keterkaitan filsafat hukum dan ilmu hukum dengan hukum ialah bahwa filsafat hukum dan ilmu hukum dapat menjadi salah satu sumber hukum (cummunis opinio doctorum). Memang, tidak semua hasil filsafat hukum dan ilmu hukum dapat menjadi sumber hukum. Hanya hasil filsafat hukum dan ilmu hukum yang hampir diakui oleh semua sarjana hukumlah yang dapat menjadi sumber hukum.
Sumber hukum (source of law) dapat dibedakan antara sumber hukum material dan formal. Sumber hukum material berarti hukum bersumber pada isi sedangkan sumber formal berarti hukum diperoleh,, dari kekuatan dan validitasnya (Paton, 1951:140). Jika filsafat hukum', dan ilmu hukum ditempatkan ke dalam kedua sumber tersebut maka' filsafat hukum merupakan sumber material dan ilmu hukum merupa­kan sumber formal. Dari pendapat George Whitecross Paton di atas secara jelasnya sumber formal itu terjadi karena legitimasi (untuk sumber undang-undang, hukum kebiasaaq,,, traktat) dan validitas (untuk sumbe>: ajaran para sarjana).
Peranan filsafat hukum dan ilmu hukum sebagai sumber hukum sudah terasa sejak dahulu kala. Di zaman Yunani, hukum dipatuhi terutama karena hukum itu merupakan tradisi yang diajarkan oleh orang-orang yang bijaksana. Sedangkan di zaman Romawi, Cicero menyebutkan tujuh bentuk hukum, tiga tidak ditemukan lagi dan di antara sisanya yang -empat terdapat "wewenang para ahli hukum" (Roscoe Pound, 1982:5-8).
, Keterikatan filsafat hukum dan ilmu hukum terlihat dari penga­ruh dimensi-dimensi hukum dan sifat-sifatnya. Dimensi nilai atau gagasan hukum menjadi wewenang filsafat hukum, dimensi perilaku menjadi wewenang ilmu hukum, dan dimensi kaidah menjadi wewenang seni atau teknik hukum. .
Secara episternologis ada tiga teo:: tentang I:;,ber.aran vakni The Correspondence Theory of Truth, The Coherence Theory of Truth, dan The Pragmatic Theory of Truth. Ketiga teori ini mendasari pengertian k'ebenaran. Filsafat hukum dan ilmu hukum bertujuan untuk mencapai kebenaran hukum. Jadi, dalam hal itu tujuan filsafat hukum clan ilmu hukum berbeda dari tujuan hukum. Hukum itu sendiri bertujuan hendak mencari keadilan, kepastian hukum, ke­tertiban. Tujuan hukum bersifat etis yakni bersumber pada kebaikau. Tujuan hukum dapat disokong dengan filsafat hukum clan ilmu hukum yakni apabila filsafat hukum clan ilmu hukum dapat menjadi sumber hukum.
Apakah ketiga teori kebenaran itu dapat diterapkan ke dalam filsafat hukum, ilmu hukum dan teknik hukum? Teori korespondensi memandang bahwa suatu pernyataan adalah benar bila sesuai atau ; sebanding dengan kenyataan yang menjadi obyeknya. Teori ko­` herensi berpendapat bahwa suatu pernyataan adalah benar jika sesuai ~ dengan pernyataan sebelumnya. Dan, teori pragmatik menyatakan bahwa suatu pernyataan adalah benar bila berguna bagi kehidupan praktis. Teori korespondensi adalah cocok dengan dimensi perilaku hukum clan menjadi bahan kajian dari sosiologi hukum clan antropo­logi hukum. Teori koherensi cocok dengan dimensi nilai hukum clan menjadi bahan kajian filsafat hukum. Sedangkan teori pragmatik cocok dengan dimensi kaidah clan menjadi. bahan kajian seni atau 'teknik hukum. '
Dari seai metode dapat dibedakan antara metode empirik yang v mengkaji dimensi perilaku, metode reflektif yang mengkaji dimensi nilai clan metode normatif yang mengkaji dimensi kaidah.
Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum
Pada bagian lain dalam karangan ini sudah diuraikan mengenai hubungan antara filsafat clan ilmu pada umumnya. Dari bagian ini 1 dapat disimpulkan bahwa antara filsafat clan ilmuJ ada persarnaan clan perbedaannva. Pada masa kini filsafat clan ilmu masing-masing memiliki otonomi. Otonomi ini hanya berfungsi demi kepentingan praktis akademis sebab dalam refleksi filsafat batas-batas antara filsafat clan ilmu menjadi tipis. Pembedaan itu rerjadi dalam rangka klasifikasi atau sistematisasi sebagai disiplir: intetearual _vang membutuhkan keteraturar...
Pada dasarnya pernyataan-pernyataan filsafat hukum merupakan pririsip-prinsip yang fundamental atau mendasar tentang hukum. ?vlalahan kerja filsafati merupa'.:an usaha-usaha untuk menguji prinsip-prinsip dasar tersebut. Dalam ilmu hukum, prinsip-prinsip tersebut dapat berperanan sebagai prinsip-prinsip pertama atau prima principia. Prinsip-prinsip pertama merupakan titik tolak untuk melakukan deduksi atau hila cara kerjanya induksi maka prinsip­prinsip pertama itu berwujud hipotesa. Cara kerja keilmuan dapat dirumuskan sebagai log iko-hipotetiko-verifikatif (Jujun S. Suria­i sumantri). Jika ilmu hukum merupakan ilmu yang menerapkan metode ilmu-ilmu alam, maka peranan filsafat hukum ialah dalam <
tahap hipotesa. Hipotesa bersifat mentah dalam ilmu. Artinya, hipotesa masih memerlukan pembuktian.
' Setiap ilmu mempunyai prinsip-prinsip pertama (van Melsen, 1985:20), begitu juga dengan ilmu hukum. Prinsip-prinsip pertama ini dalam ilmu hukum yang menerapkan metode ilmu alam terlihat ; dalam sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum dan lain-lain. Dalam ilmu hukum yang mengkaji atau meneliti kaedah, prinsip-prinsip pertama terlihat dalam kaidah dasar atau Grundnorrn. Penelitian hukum normatif didasarkan pada struktur hukum ber­jenjang yang pada akhirnya sampai pada puncaknya berupa kaidah dasar. Kaidah dasar berisi prinsip-prinsip pe,rtama yang berasal dari filsafat atau filsafat hukum atau dari pandangan hidup.
Ilmu hukum dapat berperanan dalam refleksi filsafat hukum. Hasil-hasil 15enelitian ilmu hukum adalah baha:r bagi filsafat hukum. Filsafat hukum mengintegrasikan hasil penelitian ilmu hukum, mengaitkannya dengan keseluruhan yang ada dan menempatkannya dalam pemahaman manusiawi secara intens„ clan mengimplikasikan­nya pada kebutuhan manusia yang paling dasar akan suatu keadilan. Hasil penelitian ilmu hukum sebagai ilmu bersifat fragmentaris yakni hanya meneliti sebagian saja dari kenyataan. Sebab itu fungsi dari filsafat hukum ialah menempatkan hasil-hasil penelitian ilmu hukum yang fragmentaris itu dalam keseluruhan atau dalam ke­semestaan. Filsafat hukum memeriksa basil-hasil ilmu hukum secara radikal dan kritis. Filsafat hukum mengkonst~uksikan hal-hal ini yang tak terjangkau clan tak teraba oleh ilmu hukum yakni sesuai badaniah
dari hukum. Secara lebih jelas filsafat hukum menempatkan hasil­hd;i? ilmu hukuin secara konsisten, komperehensif, koheren dan introspektif.
Filsaiat hukum tidak semata-mata mengkaji nilai yang akan berguna bagi ilmu hukum, tetapi filsafat hukum berfungsi untuk mengatur hasil-hasil ilmu hukum secara konsisten, komperehensif,
koheren dan introspektif. 'Jadi, fungsi filsafat hukum tidak semata-­mata memberi masukan bagi ilmu Hukum, tetapi juga berfungsi untuk mengolah hasil-hasil ilmu hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar