Jumat, 31 Juli 2009

TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN INVESTOR DI INDONESIA



Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas
Mata kuliah Peranan Hukum dalam Kegiatan Ekonomi


Dosen Pengampu :
Prof. SRI REJEKI, SH,





Disusun Oleh :
TEGUH BUDI YUWANA
NIM. 2009 – 02 - 027






PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MURIA KUDUS
BAB I
PENDAHULUAN


Dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa, politik hukum di Indonesia mengarahkan pembangunan hukum untuk mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan; mengatur permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi, terutama dunia usaha dan dunia industri; serta menciptakan kepastian investasi, terutama penegakan dan perlindungan hukum. Pembangunan hukum juga diarahkan untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya tindak pidana korupsi serta mampu menangani dan menyelesaikan secara tuntas permasalahan yang terkait kolusi, korupsi, nepotisme (KKN). Pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaharuan materi hukum dengan tetap memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia (HAM), kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib, teratur, lancar, serta berdaya saing global[1]
Hukum ekonomi diartikan keseluruhan peraturan-perundangan, hukum kebiasaan, putusan pengadilan yang berkaitan dengan kegiataan ekonomi, baik itu menyangkut badan hukum pelaku ekonomi, transaksi pelaku ekonomi, tempat transaksi pelaku ekonomi, sampai dengan intervensi pemerintah untuk menunjang kegiatan ekonomi, dan mekanisme penyelesaian sengketa pelaku ekonomi[2]. Sedangkan menurut Sunaryati Hartono, hukum ekonomi dalam arti luas adalah keseluruhan kebijaksanaan dan peraturan hukum yang tidak hanya terbatas pada Hukum Administrasi Negara, tetapi juga mengatur hal-hal yang termasuk substansi Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Dagang, Hukum Perdata Internasiona, bahkan hukum acara perdata dan pidana[3].


























BAB II
PERUMUSAN MASALAH

Berbicara tentang pembangunan hukum ekonomi, mau tidak mau kita harus memahami sistem ekonominya. Terdapat hubungan yang sangat erat dan timbal balik antara sistem hukum dengan sistem ekonomi. Berkaitan dengan hal ini sebaiknya secara nasional harus disepakati sistem ekonomi yang digunakan di Indonesia, apa kita akan mengabdi pada sistem ekonomi kapitalis, yang mengkultuskan pasar bebas, atau sistem ekonomi Pancasila, yang cenderung berpihak pada ekonomi rakyat[4] sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 33 UUD 194537
Secara normatif, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 sering dipahami sebagai sistem ekonomi yang layak dipakai oleh bangsa Indonesia. Pada Pasal 33 ayat (1) misalnya, menyebutkan bahwa perekonomian nasional disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Asas ini dapat dipandang sebagai asas bersama (kolektif) yang bermakna dalam konteks sekarang yaitu persaudaraan, humanisme, dan kemanusiaan. Artinya ekonomi tidak dipandang sebagai wujud sistem persaingan liberal ala Barat, tetapi ada nuansa moral dan kebersamaannya, sebagai refleksi dari tanggung jawab sosial. Bentuk yang ideal terlihat seperti wujud sistem ekonomi pasar sosial (the social market economy), yang cukup berkembang di negara-negara Eropa Barat dan Skandinavia. Seperti dikatakan oleh Didik J. Rachbini, pasal ini dianggap menjadi dasar dari ekonomi kerakyatan[5].
Pada Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), menunjukkan bahwa negara masih mempunyai peranan dalam perekonomian. Menurut M. Dawam Rahardjo, peranan itu ada 2 (dua) macam, yaitu sebagai regulator dan sebagai aktor. Ayat (2) menekankan peranan negara sebagai aktor yang berupa Badan Usaha Milik Negara (BUMN)[6]. Peranan negara sebagai regulator tidak dijelaskan dalam rumusan yang ada, kecuali jika istilah “dikuasai” diintepretasikan sebagai “diatur”, tetapi yang diatur di sini adalah sumber daya alam yang diarahkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Menurut Mubyarto, ciri-ciri sistem ekonomi Pancasila adalah sebagai berikut, (1) Roda kegiatan ekonomi digerakkan oleh rangsangan-rangsangan ekonomi, sosial dan moral, (2) Ada tekad kuat seluruh bangsa untuk mewujudkan kemerataan sosial, (3) Ada nasionalisme ekonomi, (4) Koperasi merupakan sokoguru ekonomi nasional, dan (5) Ada keseimbangan yang selaras, serasi, dan seimbang dari perencanaan ekonomi dengan pelaksanaannya di daerah-daerah[7].
Berkaitan dengan hal itu SriEdi Swasono menyatakan, membangun ekonomi rakyat memang memerlukan ‘pemihakan’, suatu sikap ideologis yang memihak untuk memuliakan kedaulatan rakyat. Namun dalam membangun ekonomi rakyat, pemihakan bukanlah satu-satunya
justifikasi. Pembangunan ekonomi rakyat memang merupakan suatu strategi yang tepat untuk mengembangkan perekonomian nasional: yaitu suatu strategi meningkatkan produktivitas rakyat (rakyat menjadi asset nasional) dan utilisasi efektif sumber-sumber daya yang tersedia, sebagai suatu strategi grassroots-based sekaligus resources based. Lebih dari itu, membangun ekonomi rakyat merupakan salah satu ujud mendasar pelaksanaan pendekatan partisipatori dan emansipatori yang dituntut oleh paham demokrasi ekonomi[8].
Keberpihakan terhadap suatu sistem ekonomi sangat penting karena akan mempengaruhi kualitas hukum ekonomi yang akan dibangun ke depan. Dalam hal ini menurut Sunaryati Hartono, sistem ekonomipun harus juga mendukung pembangunan sistem hukum secara positif, agar sistem hukum itu dapat lebih lagi mendukung pembangunan sistem ekonomi nasional[9]
Visi Indonesia 2030, yang mentargetkan Indonesia menjadi kekuatan ekonomi nomor lima di dunia, memang belum mempunyai landasan normatif untuk dijadikan acuan menyusun suatu program kerja. Tapi karena visi tersebut sejalan dengan politik hukum Indonesia yang termuat dalam Lampiran Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Nampaknya tidak ada salahnya agar visi tersebut dipadu dengan politik hukum nasional disosialisasikan secara terus menerus di lingkungan akademisi sehingga bisa menjadi inspirasi untuk berkarya dan mampu membangkitkan motivasi para mahasiswa dan dosen untuk bekerja keras mewujudkan visi tersebut demi kecintaan pada Negara Indonesia.

















BAB III
PEMBAHASAN

Di era reformasi seperti sekarang ini, yaitu ketika masyarakat mempunyai komitmen untuk melakukan reformasi di bidang politik, ekonomi, dan bidang hukum, kesalahan yang dilakukan pada masa lalu, ketika hukum senantiasa diterlantarkan, sebaiknya tidak terulang kembali. Untuk itu, tepat kiranya pada saat kondisi ekonomi Indonesia masih belum pulih seperti sekarang ini kita mulai memberikan skala prioritas utama pada pembangunan hukum ekonomi di Indonesia, agar bisa digunakan sebagai pondasi dan pemandu para pelaku-pelaku ekonomi untuk menjalankan aktivitasnya. Itulah sebabnya pemerintah Indonesia tidak hanya harus memusatkan perhatian kepada pemulihan ekonomi, melainkan juga harus meletakkan dasar bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, lebih efisien, dan lebih merata.
Untuk mencapai pembangunan hukum ekonomi yang berkualitas ‘reformasi’ untuk mendukung Visi Indonesia 2030 sekaligus juga konsisten dengan tujuan pembangunan hukum sebagaimana tertuang Rancangan Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025, pembangunan hukum harus dilakukan secara ‘revolusioner’, dan pembanguna hukum dilakukan secara berkelanjutan, dengan tetap mengacu pada fundamental hukum[10]
Pembangunan hukum yang bersifat revolusioner yaitu merubah secara sadar dan mendasar sistem hukum ekonomi yang selama ini berkualitas ‘liberal’ dan di bawah kendali negara-negara maju menjadi sistem hukum ekonomi yang berkualitas ‘kekeluargaan (ukhuwah)’ atau ‘kerakyatan’, sebagaimana tertuang dalam nilai-nilai Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945. Sistem Hukum Ekonomi yang berkualitas ‘kekeluargaan’ atau ‘kerakyatan’, ini sebenarnya juga merupakan sistem hukum yang tidak sekedar mengandalkan pada rule of law tapi lebih menaruh perhatian pada rule of moral atau rule of justice. Sistem hukum tersebut kemudian diintegrasikan secara timbal balik dengan sistem ekonomi Pancasila.
Reformasi substansi hukum ekonomi atau perombakan hukum secara mendasar yang mempunyai kualitas ‘paradigmatik’, .membutuhkan perjalanan dan langkah-langkah politik yang tidak sederhana. Pembuatan peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi pada hakekatnya merupakan kristalisasi pertempuran beberapa kepentingan yang didominasi kekuatan politik, dan kepentingan bisnis.
Di samping itu juga merupakan suatu pekerjaan teknis meramu sistem hukum dan sistem ekonomi yang berlaku disuatu negara. Jelas bahwa ditinjau dari teori hukum, fenomena tersebut mulai meninggalkan dalil bahwa hukum yang baik adalah hukum yang netral atau obyektif. Sebagaimana diketahui, dalil tersebut membawa roh paradigma positivisme hukum yang kental. Menurut para penganut positivisme hukum, kepastian hukum hanya akan terwujud jika hukum dianggap sebagai sistem yang tertutup dan otonom dari berbagai persoalan nonlegal lainnya.
Selama ini banyak ketentuan perundang-undangan di bidang ekonomi hanya sekedar ‘mencantumkan ketentuan Pasal 33 UUD 1945 dalam pertimbangan hukum dengan diselimuti kata ‘Mengingat’, tanpa secara konsisten menindaklanjutinya dalam pasal-pasalnya, bahkan tidak jarang kita melihat ketentuan pasal-pasal dalam undang-undang tersebut tidak sinkron dan bahkan bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat (1), (2), dan (3).
Pada era Orde Baru para pakar ekonomi,, pelaku ekonomi dan penguasa memandang hukum sebagai penghambat bagi kelangsungan terselenggaranya kegiatan ekonomi. Pada waktu itu hukum tidak dijadikan sebagai landasan, pemandu, dan penegak aktifitas bidang ekonomi. Keberadaaan hukum dirusak oleh penguasa hanya untuk membela politik ekonomi Orde Baru yang mengabdi pada kepentingan ekonomi negara-negara maju dan konglomerat dan multi national corporation. Namun setelah adanya krisis monoter yang meluluh lantahkan perekonomian beberapa negara di belahan dunia, mereka baru sadar akan arti pentingnya kewibawaan hukum untuk menciptakan iklim ekonomi yang kondusif dan untuk menarik investasi[11].
A. ASPEK HUKUM
Dalam upaya menempatkan hukum sebagai instrumen yang berwibawa untuk mendukung pembangunan ekonomi, nampaknya perlu diketahui peran apa yang dikehendaki oleh bidang ekonomi dari keberadaan hukum di masyarakat. Beberapa pakar ekonomi mengharapkan agar pembangunan hukum ekonomi harus diarahkan untuk menampung dinamika kegiatan ekonomi, dengan menciptakan kegiatan yang efisien dan produktif , dan mengandung daya prediktibilitas[12]
Nyhart mengemukakan adanya 6 (enam) konsep dalam ilmu hukum yang mempunyai pengaruh bagi pengembangan kehidupan ekonomi[13]. Adapun kelima konsep tersebut adalah sebagai berikut, pertama, prediktabilitas. Hukum harus mempunyai kemampuan untuk memberikan gambaran pasti di masa depan mengenai keadaan atau hubungan-hubungan yang dilakukan pada masa sekarang. Kedua, kemampuan prosedural. Pembinaan di bidang hukum acara memungkinkan hukum material itu dapat merealisasikan dirinya dengan baik, ke dalam pengertian hukum acara ini termasuk tidak hanya ketentuan-ketentuan hukum perundang-undangan melainkan juga semua prosedur penyelesaian yang disetujui oleh para pihak yang bersengketa, misalnya bentuk-bentuk : arbitrasi, konsiliasi dan sebagainya. Kesemua lembaga tersebut hendaknya dapat bekerja dengan efisien apabila diharapkan, bahwa kehidupan ekonomi itu ingin mencapai tingkatannya yang maksimum. Ketiga, kodifikasi daripada tujuan-tujuan. Perundang-undangan dapat dilihat sebagai suatu kodifikasi tujuan serta maksud sebagaimana dikehendaki oleh negara. Di bidang ekonomi, misalnya, kita akan dapat menjumpai tujuan-tujuan itu seperti dirumuskan di dalam beberapa perundang-undangan yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai pengaruh terhadap bidang perekonomian. Keempat, faktor penyeimbangan. Sistem hukum harus dapat menjadi kekuatan yang memberikan keseimbangan di antara nilai-nilai yang bertentangan di dalam masyarakat. Sistem hukum memberikan “kesadaran akan keseimbangan” dalam usaha-usaha negara melakukan pembangunan ekonomi. Kelima, akomodasi. perubahan yang cepat sekali pada hakekatnya akan menyebabkan hilangnya keseimbangan yang lama, baik dalam hubungan antar individu maupun kelompok di dalam masyarakat. Keadaan ini dengan sendirinya menghendaki dipulihkannya keseimbangan tersebut melalui satu dan lain jalan.
Selama ini kelemahan utama bidang hukum yang sering dihadapi oleh pelaku ekonomi di Indonesia adalah masalah ketidak pastian hukum. Padahal kepastian hukum juga dibutuhkan untuk memperhitungkan dan mengantisipasi resiko, bahkan bagi suatu negara kepastian hukum merupakan salah satu faktor yang sangat menunjang daya tahan ekonomi suatu negara.
Di dalam rangka agar hukum mampu memainkan peranannya untuk memberikan kepastian hukum pada pelaku ekonomi, maka pemerintah bertanggungjawab menjadikan hukum berwibawa dengan jalan merespon dan menindaklanjuti pendapat dan keinginan pakar-pakar ekonomi di atas. Sehingga kedepan diharapkan hukum mampu memainkan peranannya sebagai faktor pemandu, pembimbing, dan menciptakan iklim kondusif pada bidang ekonomi.
Di samping kepastian hukum, peningkatan efisiensi[14] secara terus menerus merupakan salah satu perhatian sistem ekonomi. Oleh karena itu hukum juga harus senantiasa diusahakan agar dapat menampung berbagai gagasan baru serta disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang berubah apabila hendak memperoleh tingkat efisiensi yang setinggi-tingginya.
Menurut Mochtar Kusuma Atmadja, yang menjadi masalah utama di Indonesia dan banyak dikeluhkan oleh investor asing adalah kepastian hukum, baik mengenai ketentuan perundang-undangan yang banyak hal tidak jelas dan saling bertentangan, dan juga mengenai pelaksanaan putusan pengadilan[15].
Menurut Erman Rajagukguk, ketidak pastian hukum akan berpengaruh pada perekonomian. Ada 3 (tiga) faktor yang menjadi penyebab tak adanya kepastian hukum di Indonesia, yaitu pertama, hirarki peraturan perundang-undangan tidak berfungsi dan masih tumpang tindihnya materi yang diatur; Kedua, aparat lemah dalam menjalankan aturan; dan Ketiga, penyelesaian sengketa-sengketa di bidang ekonomi tidak bisa diramalkan[16].
B. ASPEK ETIKA BISNIS
Bisnis adalah sebuah kepercayaan[17]. Konsep etika bisnis, di mana di dalamnya mengandung prinsip otonomi, prinsip kejujuran, prinsip tidak berbuat jahat, prinsip keadilan, dan prinsip hormat kepada diri sendiri[18], jelas merupakan suatu konsep yang sifatnya universal bagi manusia yang beradab harusnya konsep tersebut dijadikan pemandu di dalam pergaulan bisnis sehari-hari.
Dalam sistem Hukum Ekonomi kerakyatan atau kekeluargaan yang lebih memberi penekanan pada rule of moral daripada rule of law, etika bisnis nampaknya perlu mendapat perhatian yang besar dan diusahakan ikut mewarnai kegiatan ekonomi. Hal ini memang suatu tantangan yang berat, karena selama ini di lingkungan dunia bisnis terlanjur melekat suatu ‘mitos bisnis amoral’.
Dalam kerangka mitos bisnis amoral, bisnis diibaratkan sebagai permainan judi, yang dapat menghalalkan segala cara untuk menang dan meraih keuntungan. Oleh karena itu, dalam permainan bisnis yang semakin tajam orang-orang cenderung mengejar laba maksimal dalam jangka pendek. Dengan perilaku berorientasi pada laba, pelaku-pelaku ekonomi bisa kejam dan menyingkirkan etika. Mereka berpendapat mematuhi aturan moral akan berada dalam posisi yang kurang menguntungkan untuk mengejar laba[19].
Untuk mendukung penegakan etika bisnis, sebenarnya Majelis Permusyawaratan Rakyat telah mengeluarkan Ketetapan MPR No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, di dalamnya juga mengatur tentang etika ekonomi dan bisnis. Hal ini dimaksudkan agar prinsip dan perilaku ekonomi, baik oleh perseorangan, institusi, maupun pengambil keputusan dalam bidang ekonomi dapat melahirkan kondisi dan realitas ekonomi yang bercirikan persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan saing, dan terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil melalui kebijakan secara berkesinambungan.
Dengan pedoman etika ini diharapkan mampu mencegah terjadinya praktik-praktik monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang mengarah kepada perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme, diskriminasi yang berdampak negatif terhadap efisisensi, persaingan sehat dan keadilan serta menghindarkan perilaku menghalalkan segala cara dalam memperoleh kentungan. Namun sayangnya pedoman yang baik tersebut belum tersosialisasikan pada masyarakat, sehingga sampai sekarang masalah etika bisnis belum dianggap penting oleh organisasi pengusaha dan pelaku bisnis di Indonesia.
Sosialisasi dan penegakan etika bisnis untuk mendukung pembangunan hukum ekonomi memang tidak mudah karena moral pelaku bisnis besar di Indonesia sebagian besar masih dalam tingkatan pra-konvensional, untuk menopang keberhasilan, di samping penegakan etika harus merupakan internal driven dari organisasi pengusaha, masyarakat harus senantiasa dibiasakan untuk memikirkan isu-isu moral berdasarkan keprihatinan moral, yakni sikap tanggap masyarakat secara umum terhadap nilai-nilai moral. Dalam hal ini peranan media massa sangat menentukan khususnya dalam mengatur ‘suhu’ agar suatu momentum keprihatinan moral masyarakat terhadap suatu isu moral senantiasa terjaga ‘kehangatannya’. Dengan cara demikian diharapkan apabila ada pelaku-pelaku ekonomi melanggar etika bisnis akan terkena sanksi dari masyarakat luas.

C. Tersedianya Mekanisme Penyelesaian Sengketa Bisnis yang Berwibawa dan Efisien
Sekarang ini daya tarik investasi tidak hanya mengandalkan pada sektor stabilitas politik dan keamanan atau upah tenaga kerja yang rendah, tapi juga wajib tersedia sarana penyelesaian sengketa bisnis yang reliable, terpercaya, efektif dan efisien. Sejak awal Adam Smith, setelah memperingatkan bahwa “hanya kedamaian, ringannya pajak, dan pelaksanaan peradilan yang dapat diterima yang diperlukan untuk mengangkat negara paling melarat menjadi negara paling sejahtera; selebihnya tergantung pada faktor-faktor alami”.
Dalam masyarakat bisnis terdapat 2 (dua) pendekatan umum yang sering digunakan untuk menyelesaikan sengketa. Pendekatan pertama, yaitu menggunakan paradigma penyelesaian sengketa litigasi (selanjutnya hanya disebut paradigma litigasi). Pendekatan ini merupakan suatu pendekatan untuk mendapatkan keadilan melalui sistem perlawanan dan menggunakan paksaan dalam mengelola sengketa serta menghasilkan suatu keputusan win-lose solution bagi pihak-pihak yang bersengketa. Sementara itu, pendekatan kedua, menggunakan paradigma penyelesaian sengketa non-litigasi (untuk selanjutnya hanya disebut paradigma non-litigasi). Paradigma ini dalam mencapai keadilan lebih mengutamakan pendekatan ‘konsensus’ dan berusaha mempertemukan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa serta bertujuan untuk mendapatkan hasil penyelesaian sengketa kearah win-win solution[20].
Dari kedua paradigma tersebut, Paradigma Litigasi yang mengandalkan perangkat lembaga peradilan sebagai institusinya telah mewabah penggunaannya selaras dengan makin derasnya infiltrasi hukum modern di setiap penjuru dunia. Dalam konstelasi sistem hukum modern, keberadaan lembaga peradilan diantaranya mengemban tugas menyelesaikan sengketa untuk menegakan rule of law. Keberadaan lembaga peradilan yang dimaksudkan sebagai sarana fasilatatif untuk menegakan wibawa hukum dengan jalan memberikan akses keadilan bagi pihak-pihak yang terlibat sengketa.
Dalam realitanya, peranan pengadilan belum bisa memenuhi harapan masyarakat, karena banyak putusan-putusan yang dikeluarkan tidak menyelesaikan masalah tapi justru menimbulkan masalah baru. Bahkan peran pengadilan tidak lagi hanya sebagai tempat mencari keadilan tapi juga sebagai tempat untuk mencari kemenangan dengan segala cara, dan sebagai tempat jual beli putusan. Hal ini menyebabkan pengadilan mengalami krisis kepercayaan dan kewibaannya di mata masyarakat. Krisis ini merupakan keadaan yang tidak normal, di mana pengadilan yang seharusnya menjalankan fungsi untuk menyelesaikan sengketa secara adil bagi masyarakat telah kehilangan pamornya sebagai tempat mencari keadilan.
Krisis dalam sistem peradilan Indonesia beberapa di antaranya disebabkan adanya tekanan dari pihak luar pada pengadilan dalam memutus perkara; rendahnya pengetahuan hakim dalam merespon perkembangan hukum yang semakin kompleks; vonis hakim yang tidak bisa diprediksi dan tidak mencerminkan keadilan masyarakat; jual beli vonis hakim, korupsi dan kolusi di lingkungan pengadilan; lamanya pihak yang bersengketa mendapat vonis yang mempunyai kekuatan hukum tetap; puluhan ribu tunggakan perkara yang menumpuk di Mahkamah Agung; Mahkamah Agung menjadi pasar jual beli perkara; dan rendahnya kredibilitas Ketua Mahkamah Agung[21]. Akibat adanya krisis tersebut telah menyurutkan kepercayaan dan hilangnya kewibawaan pengadilan di mata masyarakat
Pemerintah Indonesia nampaknya masih kurang menyadari arti pentingnya sarana penyelesaian sengketa bagi kepentingan pembangunan ekonomi dan sebagai daya tarik investor untuk menanamkan modalnya. Hal ini terlihat dengan tidak adanya program dari Pemerintah dan Mahkamah Agung untuk membenahi pengadilan secara revolusioner dan tidak berusaha membangun sarana alternatif untuk menyelesaikan sengketa bisnis secara serius.
Keberadaan mekanisme penyelesaian sengketa ADR (Alternatif Dispute Resolution), seperti negosiasi, konsiliasi, mediasi, dan arbitrase, sebagai daya tarik investasi sebenarnya sudah disadari oleh banyak negara. Hal inilah yang memotivasi beberapa negara untuk mengembangkannya secara progresif, seperti Amerika, Jepang, Korea, Australia, Inggris, Hongkong, Singapura, Srilangka, Filipina, Negara-negara Arab.
Kaitannya dengan pembangunan hukum ekonomi untuk mewujudkan Visi Indonesia 2030 harus mampu memberikan komitmennya yang kuat dan konsisten untuk menjadikan hukum sebagai panglima, yang memandu aktifitas ekonomi dan tegas menghukum bagi pelanggar hukum yang merusak ekonomi bangsa. Untuk itu mereka harus memberikan teladan ketaatan pada hukum, tegas bagi pelanggar hukum yang tindakannnya membahayakan ekonomi nasional, dan mampu memberantas korupsi.
D. ASPEK PEMRANTASAN KORUPSI
Kaitannya dengan menciptakan suatu kondisi yang kondusif bagi investasi, pembrantasan korupsi nampaknya harus menjadi salah satu prioritas utama, karena tingginya rangking korupsi yang selama ini disandang Indonesai telah mengurangi minat investor masuk menanamkan investasi karena dianggap high cost. Sebenarnya apa yang salah dengan negara Indonesia? Undang-undang Pembrantasan Tindak Pidana Korupsi secara substansial sudah baik, lembaga yang mendukung pemberantasan korupsi juga sudah lengkap, mulai dari polisi, kejaksaan, KPK (Komisi Pembrantasan Korupsi), PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), sampai Peradilan Tipikor.
Yang lebih mengherankan, walaupun kita menempati rangking teratas sebagai negara terkorup, namun koruptor yang dihukum relatif masih sedikit. Menurut Taufiqurrahman Rukie (mantan ketua KPK), keberhasilan pembrantasan korupsi sangat tergantung kepada dua tokoh penting di Indonesia, Presiden dan Ketua Mahkamah Agung[22]. Kalau Presiden dan Ketua MA-nya kenceng, tingkat korupsi pasti bisa ditekan. Pernyataan ketua KPK tersebut sangat rasional, karena presiden mempunyai kekuasaan yang langsung membawai Kapolri dan Jaksa Agung, yang notabene merupakan aparat hukum yang menempati kunci strategis terdepan dalam pembrantasan korupsi.
Sedangkan ketua mahkamah agung merupakan pemegang kekuasaan tertinggi lembaga peradilan tempat dimana para koruptor diadili. Namun sayang, Mahkamah Agung sampai sekarang belum mampu secara konsisten menunjukkan ketegasan dalam pembrantasan korupsi. Untuk mewujudkan pemerintah yang bersih dan berwibawa, Presiden harus mampu membuktikan kepada masyarakat akan ketegasannya dalam menangani dan memimpin langsung pembrantasan korupsi, dan mempunyai komitmen kuat untuk merealisasi visi.
.

[1] Lampiran Undang – undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
[2] T. Mulya Lubis dalam bukunya Hukum dan Ekonomi, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1997.
[3] Sunaryati Hartono, “Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca tahun 2003”, Makalah dalam Seminar Pembangunan Nasional VIII, Diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003.
[4] Sri Edi Swasono, Kompetensi dan Integritas Sarjana Ekonomi, Orasi Ilmiah Reuuni Akbae FE – UNDIP 2002, UI- Press
[5] Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik: Kebijakan dan Strategi Pembangunan, Jakarta, Granit, 2004.
[6] M. Dawam Rahardjo, “Evaluasi dan Dampak Amandemen UUD 1945 terhadap Perekonomian di Indonesia”, UNISIA, No. 49/.XXVI/III/2003
[7] Mubyarto, “Sistem Ekonomi Nasional”, Kompas, 5 Juli 1997
[8] Sri-Edi Swasono, Op.cit
[9] Sunaryati Hartono, Op.cit
[10] Satjipto Rahardjo, “Fundamental Hukum”, Kompas, 20 Oktober 1997.

[11] Harian Kompas, Kamis 23 September 2004
[12] Lihat Charles Himawan, “Mercusuar Hukum Bagi Pelaku Ekonomi”, Kompas, 21 April 1998.
[13] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung, Penerbit Angkasa, 1980
[14] Chatamarrasjid, Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Yarsi, 4 Oktober 2003, Jakarta, UI-Press
[15] Mochtar Kusuma Atmadja, “Investasi di Indonesia dalam Kaitannya dengan Pelaksanaan Perjanjian Hasil Putaran Uruguay”, Jurnal Hukum No.5 Vol.3., 1996.
[16] Kompas, 21 April 1998
[17] Sri Rejeki, Kuliah Magister Hukum Universitas Muria Kudus,19 Juli 2009.
[18] A. Sony Keraf, Etika Bisnis, Yogyakarta, Kanisius, 1993.
[19] Ace Partadiedja, Ekonomika Etik, Pidato Pengukuhan Guru Besar, 23 Mei 1981
[20] Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi di Indonesia, Surakarta, UNS Press, 2006.

[21] Adi Sulistiyono, Krisis Lembaga Peradilan di Indonesia, Surakarta, UNS-Press, 2006.

[22] Tempo Interaktif, Pembrantasan Korupsi Tergantung SBY dan Bagir Manan”, Sabtu, 21 April 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar