Jumat, 31 Juli 2009

PERLINDUNGAN SAKSI

UU Perlindungan Saksi dan Korban. Sebuah Momentum Baru Penegakan Hukum Sutta Dharmasaputra
Nasib pelapor korupsi tak selalu baik di Indonesia. Endin Wahyudin menjadi contoh. Maksud hati melaporkan dugaan suap di lingkungan Mahkamah Agung, ia malah diadili atas tuduhan pencemaran nama baik. Ada juga saksi yang diancam, rumahnya dilempar bom, akibat membawa pengaruh besar dalam penegakan hukum di Indonesia," demikian pendapat Presiden Susilo Bambang Yudhyono yang dibacakan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin dalam rapat paripurna. Kalangan LSM yang tergabung dalam Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban yang banyak memberikan masukan dan aktif mengawal pembahasan, kendati tidak terlalu puas dengan rumusan pasal yang ada, mengakui ada kemajuan dengan adanya perlindungan pada pelapor (whistleblower) serta tidak adanya pembatasan perlindungan saksi/korban berdasarkan tindak pidana. Dengan begitu, akan makin banyak pihak yang berani membongkar kejahatan. RUU Perlindungan Saksi dan Korban merupakan usul inisiatif DPR. Sebagaimana dilaporkan Ketua Panja Akil Mochtar dalam paripurna, pada mulanya terdiri dari 7 bab dan 32 pasal. Namun, setelah dilakukan pembahasan bersama pemerintah, akhirnya berkembang menjadi 46 pasal. Secara umum, UU ini mengatur lima materi pokok, yaitu kriteria saksi, korban; jenis perlindungan dan bantuan yang diberikan; lembaga berwenang yang memberikan perlindungan dan bantuan; syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan; serta sanksi pidana kepada setiap orang yang melakukan ancaman. Saksi didefinisikan sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. Adapun korban didefinisikan sebagai seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan suatu tindak pidana. Hak seorang saksi dan korban meliputi: keamanan pribadi, keluarga, harta benda, bebas dari ancaman berkenaan dengan kesaksiannya, ikut serta dalam menentukan bentuk perlindungan dukungan keamanan, memberikan keterangan tanpa tekanan; mendapat penerjemah, bebas dari pertanyaan menjerat, mendapat informasi mengenai perkembangan kasus, mendapat informasi mengenai putusan pengadilan, mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan, mendapat identitas baru, mendapatkan tempat kediaman baru, memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai kebutuhan, mendapat nasihat hukum, serta memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas perlindungan berakhir (Pasal 5). Hak itu diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK). Korban pelanggaran HAM berat, bahkan juga berhak mendapatkan bantuan medis, rehabilitasi psiko-sosial, serta mengajukan kompensasi dan restitusi ke pengadilan melalui LPSK. Dalam proses persidangan, saksi maupun korban yang merasa dirinya diancam, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir di pengadilan dan memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan kepada pejabat berwenang dengan membubuhkan tanda tangan pada berita acara, atau dapat pula didengar kesaksiaannya melalui sarana elektronik dengan didampingi pejabat berwenang. Seorang saksi yang juga tersangka, dalam UU ini juga diatur, dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana. Di sini terjadi perbedaan dengan Koalisi LSM. Mereka menghendaki, saksi tersangka tidak menjadi target hukum. Alasannya, kasus kejahatan luar biasa umumnya dapat dibongkar saksi pelaku sehingga perlu diberi penghargaan. Khusus tentang perlindungan pada pelapor, dalam UU juga diatur bahwa "Saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya". Yang dimaksud dengan "pelapor" di atas adalah orang yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana. Namun, ketentuan itu tidak berlaku terhadap saksi, korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik, antara lain memberikan keterangan palsu, sumpah palsu, dan permufakatan jahat. Di sini, Koalisi LSM berbeda pandangan. Pelapor tidak cukup hanya dibebaskan dari jerat hukum, tetapi juga berhak mendapat perlindungan seperti halnya saksi dan korban. Usulan ini tidak diterima karena dianggap membuat cakupan UU ini jadi melebar dan berkonsekuensi pada anggaran. Lembaga perlindungan LPSK bersifat mandiri, berkedudukan di ibu kota negara, dan memiliki perwakilan apabila diperlukan. Anggotanya terdiri dari tujuh orang berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang HAM, kepolisian, kejaksaan, Departemen Hukum dan HAM, akademisi, advokat, atau LSM. Untuk pertama kali, seleksi dan pemilihannya dilakukan Presiden dengan membentuk panitia seleksi yang terdiri dari dua unsur pemerintah dan tiga unsur masyarakat. Panitia seleksi mengusulkan 21 calon kepada Presiden untuk kemudian dipilih sebanyak 14 orang dan diajukan kepada DPR untuk disetujui menjadi 7 orang. Masa jabatan LPSK ini lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Biaya LPSK ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Perlindungan terhadap saksi dan korban itu sendiri diberikan dengan mempertimbangkan: sifat pentingnya keterangan, tingkat ancaman, hasil analisis tim medis atau psikolog, serta rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan. Tata cara pemberian perlindungan bisa dilakukan atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat berwenang. Berdasarkan itu, LPSK melakukan pemeriksaan. Paling lambat tujuh hari sejak permohonan perlindungan diajukan, LPSK harus sudah memberikan jawaban tertulis. Sebaliknya, saksi atau korban pun harus menyatakan kesediaan menjalankan sejumlah syarat: kesediaan memberikan kesaksian dalam proses peradilan, menaati aturan berkenaan dengan keselamatannya, tidak berhubungan dengan cara apa pun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, tidak memberitahukan kepada siapa pun mengenai keberadaannya yang dilindungi LPSK, dan hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK. Sebagai bentuk perlindungan terhadap saksi dan korban, UU juga mengatur sejumlah sanksi pidana kepada setiap orang yang mengancam saksi maupun korban. Sanksi pidana itu mulai dari denda Rp 40 juta sampai Rp 500 juta serta kurungan satu tahun hingga seumur hidup. Pemerintah dan masyarakat Kini tinggal kesigapan pemerintah mengimplementasikannya. Paling tidak ada tiga peraturan pemerintah yang harus disiapkan, yaitu tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota LPSK; pemberian kompensasi dan restitusi korban HAM barat; serta kelayakan diberikannya bantuan, jangka waktu, serta besaran biaya bantuan. Pemerintah segera membentuk tim seleksi yang kredibel dan memberi waktu cukup kepada tim untuk merekrut calon yang benar-benar berkualitas dan berintegritas. Masyarakat pun perlu berperan aktif di sini. Dengan demikian, daftar calon LPSK tidak hanya menjadi incaran "pencari pekerjaan", tapi diisi para "pencari kerja". Dengan begitu, UU yang mungkin dirasa masih ada ketidaksempurnaan ini, ditambah kondisi kantong negara yang tipis, bisa diimbangi dengan kehadiran tujuh orang anggota LPSK berintegritas
Sumber www.Kompas 21 July 2003
Penulis : Supriyadi Widodo Eddyono, Betty Yolanda, dan Fajrimei A. Gofar

Tulisan ini mencoba mendiskripsikan secara sederhana kasus-kasus yang pernah dialami oleh para saksi ataupun pelapor yang mengetahui adanya suatu perbuatan tindak pidana. Maksudnya adalah agar kasus-kasus ini menjadi sumber penting baik sebagai rujukan maupun memberikan masukan bagi para pembentuk Undang-undang maupun para aktivis yang melakukan kampanye Perlindungan Saksi di Indonesia. Tujuan akhirnya adalah terciptanya sebuah Rancangan Undang-undang Perlindungan Saksi yang memadai. Walaupun sebenarnya telah sangat sering didengungkan pentingnya hak saksi dan perlindungan terhadap saksi, namun kita jarang memberikan dan menemukan fakta-fakta penting yang sering dialami para saksi. Pertimbangan inilah yang mendorong kami untuk mengumpulkan serpihan-serpihan kecil kasus-kasus yang dialami saksi.

Sumber dari kasus-kasus ini dikumpulkan dari banyak orang, termasuk laporan-laporan yang diterima dari organisasi-organisasi maupun individu, sumber lainnya yang tak kalah penting adalah sumber dari berbagai media massa yang pernah mempublikasikan ancaman yang diterima oleh saksi dan pelapor. Walaupun kasus-kasus yang disajikan ini masih minim, diharapkan kumpulan kasus ini dapat merefleksikan dengan baik apa saja yang dialami para saksi sehingga perlindungan terhadap mereka menjadi hal yang sangat penting. saksi-dalam-ancaman
Penulis : Supriyadi Widodo Eddyono, Wahyu Wagiman dan Zainal Abidin.
Perlindungan terhadap korban dan saksi dalam Statura Roma 1998 diatur secara memadai. Pengaturan ini pada intinya tidak jauh berbeda dengan perlindungan terhadap korban dan saksi dalam beberapa statuta sebelumnya yakni untuk peradilan internasional bagi bekas negara Yugoslavia (ICTY) dan peradilan internasional untu Rwanda (ICTR). Pada intinya perlindungan terhadap korban dan saksi dalam 3 statuta tersebut mengatur tentang perlindungan korban dan saksi selama proses peradilan yang berupa pemberian hak-hak khusus kepada korban dan saksi. Dalam proses peradilan, korban dan saksi mempunyai hak-hak perlindungan bagi mereka sebagaimana hak-hak yang juga diberikan kepada tertuduh. Dalam pelaksanaan perlindungan tersebut, 3 statuta ini juga mensyaratkan adanya sebuah unit yang secara khusus menangani persoalan yang berkaitan dengan korban dan saksi. Unit ini mempunyai tugas dan tanggung jawab tanggung jawab tertentu yang berkaitan dengan tindakan-tindakan untuk perlindungan korban dan saksi.
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DALAM PERADILAN HAM
Kamis, 17 Juni 2004 | 14:50 WIB
TEMPO InteraktifPendahuluanPembahasan soal pentingnya perlindungan saksi dan korban dalam sebuah proses peradilan, terutama dalam konteks peradilan HAM, rasanya sudah berkali-kali disampaikan. Beberapa ornop pemerhati masalah penegakan dan perlindungan HAM bahkan sempat bersama-sama bergabung membentuk Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban untuk mengkampanyekan pembentukan sebuah UU Perlindungan Saksi dan Korban. Koalisi ini bekerja keras menyusun sebuah draft RUU dan juga melakukan diskusi-diskusi dengan lembaga-lembaga terkait, termasuk Komisi II DPR RI. Sayangnya, Pemerintah negara ini nampaknya tidak menganggap serius isu yang satu ini. Daripada bersusah-susah mengadakan sebuah undang-undang, tanggal 13 Maret 2002 lalu, Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani sekaligus memberlakukan PP No. 2/2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.Tulisan di bawah ini sebenarnya hanya akan mencoba menggaris bawahi beberapa point argumentasi tentang betapa pentingnya pengadaan sebuah lembaga perlindungan saksi dan korban dalam mekanisme peradilan HAM. Argumentasi pula akan didasarkan pada fakta riel pincangnya proses peradilan atas kasus-kasus kejahatan HAM di Timor Leste yang saat ini sedang berlangsung di Pengadilan HAM akibat tidak adanya mekanisme perlindungan saksi dan korban.Logika Umum Pentingnya Perlindungan Saksi dan KorbanSiapakah saksi? Saksi adalah mereka yang mempunyai pengetahuan sendiri berdasarkan apa yang dialaminya, dilihatnya, dan/atau didengarnya berkenaan dengan dugaan terjadinya suatu tindak pidana. Berdasarkan definisi tersebut, maka tidaklah mustahil saksi adalah juga korban –pihak yang dirugikan dari peristiwa tersebut. Saksi diharapkan dapat menjelaskan rangkaian kejadian yang berkaitan dengan sebuah peristiwa yang menjadi obyek pemeriksaaan di muka persidangan. Saksi, bersama alat bukti lain, akan membantu Hakim untuk menjatuhkan putusan yang adil dan obyektif berdasarkan fakta-fakta hukum yang dibeberkan.Dalam sebuah proses peradilan pidana, saksi adalah kunci untuk memperoleh kebenaran materil. Teorinya, pasal 184 –185 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) UU No. 8/1981 secara tegas mengambarkan hal tersebut. Pasal 184 menempatkan keterangan saksi di urutan pertama di atas alat bukti lain berupa keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Pasal 185 (2) menyatakan, “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.” Ayat 3 dari pasal yang sama berbunyi, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan alat bukti yang sah lainnya.” Hal ini dapat diartikan bahwa keterangan lebih dari 1 (satu) orang saksi saja tanpa disertai alat bukti lainnya, dapat dianggap cukup untuk membuktikan apakah seorang terdakwa bersalah/tidak.Pada saat memberikan keterangannya, saksi harus dapat memberikan keterangan yang sebenar-benarnya. Untuk itu, saksi perlu merasa ama dan bebas saat diperiksa di muka persidangan. Ia tidak boleh ragu-ragu menjelaskan peristiwa yang sebenarnya, walau mungkin keterangannya itu memberatkan si terdakwa. Maka pasal 173 KUHAP memberikan kewenangan kepada Majelis Hakim untuk memungkinkan seorang saksi didengar keterangannya tanpa kehadiran terdakwa. Alasannya jelas: mengakomodir kepentingan saksi sehingga ia dapat berbicara dan memberikan keterangannya secara lebih leluasa tanpa rasa takut, khawatir, atau pun tertekan.Tetapi saksi juga harus dibebaskan dari perasaan takut, khawatir akan dampak dari keterangan yang diberikannya. Seseorang mungkin saja menolak untuk bersaksi, atau, kalau pun dipaksa, berbohong karena ia tidak mau mempertaruhkan nyawanya atau nyawa keluarganya gara-gara keterangannya yang memberatkan terdakwa. Di sisi lain, seseorang menolak memberikan keterangan karena mengalami trauma hebat akibat peristiwa pidana sehingga tidak memiliki kemampuan untuk menceritakan ulang peristiwa yang dialaminya itu. Tidak sedikit kasus yang tidak dapat dibawa ke muka persidangan atau pun terhenti di tengah jalan karena persoalan yang satu ini. Kasus-kasus seperti kejahatan korupsi atau kejahatan narkotika yang melibatkan sebuah sindikat, atau kasus-kasus kekerasan berbasis gender menjadi contoh kasus yang seringkali tidak dapat diproses karena tidak ada saksi yang mau dan berani memberikan keterangan yang sebenarnya. Maka yang terjadi kemudian adalah bukan saja gagalnya sebuah tuntutan untuk melakukan proses peradilan yang bersih, jujur, dan berwibawa untuk memenuhi rasa keadilan, tetapi juga pelanggaran hak-hak asasi individual yang terkait dalam kasus tersebut. Dengan demikian, maka jelas bahwa ketersediaan mekanisme perlindungan saksi dan korban amat penting untuk menjamin diperolehnya kebenaran materil sekaligus untuk memenuhi rasa keadilan bagi semua, termasuk bagi saksi dan korban yang terkait.Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pengadilan bagi Kasus Kejahatan HAMMasa transisi atau peralihan dari rejim pemerintahan otoriter Soeharto ke sistem pemerintahan yang kita harapkan bakal didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi sedang berlangsung saat ini. Dalam situasi seperti ini, tuntutan-tuntutan tegas untuk mengakui dan mengadili ‘dosa-dosa’ masa lalu yang mengakibatkan berbagai penderitaan akibat represi rejim otoriter lalu. Negara diharapkan mampu menjawab tantangan atas tuntutan penyediaan transitional justice; tantangan untuk memberikan keadilan legal, sosial, dan moral dalam selama proses peralihan menuju pemerintahan demokratis berdasarkan prinsip-prinsip penghormatan HAM dan anti kekerasan.Salah satu cara penyediaan transitional justice adalah dengan mengadakan mekanisme peradilan bagi kasus-kasus kejahatan HAM di masa lalu. Lembaga peradilan diharapkan mampu menyeret pelaku kejahatan HAM di masa lalu di muka persidangan, diperiksa, dan kemudian diadili. Saksi dan korban pun menjadi elemen penting untuk membantu lembaga peradilan menjalankan tugasnya. Keterangan saksi dan korban membantu mengakselerasi tuntutan rasa keadilan bagi korban kekejaman rejim otoriter masa lalu. Tuntutan seperti ini, pada akhirnya membawa konsekuensi pasti bahwa Negara harus mampu membantu proses ini. Salah satunya adalah dengan jalan menyediakan mekanisme perlindungan saksi dan korban.Mekanisme perlindungan saksi dan korban dalam proses peradilan kasus-kasus kejahatan HAM juga diakui dunia sebagai sebuah keniscayaan. Mahkamah Pidana Ad-hoc untuk bekas negara Yugoslavia dan untuk Rwanda secara eksplisit menyebutkan hal tersebut pada statuta dan aturan teknis prosedur pengadilan. Hal yang sama juga termaktub secara eksplisit di statuta Mahkamah Pidana Internasional yang mulai beroperasi tanggal 1 Juli 2002. Pasal 6(d) Deklarasi PBB tentang Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (UN Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power) juga menyatakan bahwa proses peradilan harus “[...] mengambil langkah-langkah untuk meminimalisir ketidaknyamanan korban, melindungi privasi mereka, manakala dibutuhkan, dan memastikan keselamatan mereka dan juga anggota keluarga saksi-saksi mereka dari intimidasi dan tindakan balas dendam.” (measures to minimise inconvenience to victims, protect their privacy, when necessary, and ensure their safety, as well as that of their families and witnessess on their behalf, from intimidation and retaliation).Argumen utama perlunya diadakan lembaga perlindungan saksi dan korban adalah karena dalam situasi transisi “[...] dimana terdakwa atau tersangka [kasus kejahatan HAM] dan para pendukungnya masih demikian banyak dan berkuasa [maka] setiap saksi yang akan memberikan keterangan memberatkan adalah dianggap sebagai ‘musuh’ [...].” Mekanisme perlindungan saksi dan korban yang jelas dan terpercaya dapat membantu saksi dan korban yang selama ini bungkam karena takut dapat merasa aman untuk berbicara membeberkan kejahatan HAM yang dialaminya. Pengalaman berbagai negara yang mengalami masa transisi, seperti Afrika Selatan dan negara-negara di Amerika Latin, menunjukkan bahwa pembentukan lembaga perlindungan saksi dan korban dapat turut membantu membongkar berbagai jenis kasus kejahatan HAM yang terjadi di masa lampau. Untuk itu, lembaga perlindungan saksi dan korban sebaiknya dibangun berdasarkan perspektif saksi dan korban dengan menjadikan faktor keamanan sebagai prioritas utama. Saksi dan korban perlu diberi rasa kepercayaan bahwa pengadilan yang akan dihadapinya adalah sebuah pengadilan yang berwibawa dan dapat dipercaya; mampu melindungi dirinya sebelum, pada saat, dan setelah memberikan kesaksian. Dalam konteks berpikir seperti ini, maka yang dibutuhkan bukan hanya pemberian fasilitas keamanan fisik saja, tetapi juga jasa konsultasi psikologi. Hal ini selain dapat membantu saksi dan korban siap untuk memberikan keterangan, juga dapat menjadi alat bantu memulihkan saksi dan korban sebagai persiapan untuk kembali memulai hidupnya (rehabilitasi psiko-sosial). Perlindungan Saksi dan Korban di Pengadilan HAM: Hanya Manis di Mulut Saja
UU Pengadilan HAM No. 26/2000 secara teoritis juga mengakui pentingnya aspek perlindungan saksi dan korban dalam proses pengadilan kasus-kasus kejahatan HAM. Pasal 34 dari UU ini menyatakan bahwa aparat penegak hukum dan aparat keamanan diharuskan menyediakan perlindungan bagi saksi dan korban. Tanggal 13 Maret 2002 Pemerintah mengeluarkan PP No. 2/2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. Tindakan Pemerintah untuk mengeluarkan PP ini mengecewakan berbagai kalangan, termasuk berbagai ornop pemerhati masalah HAM. Sudah sejak jauh-jauh hari, sejak pertengahan tahun 2000, sebenarnya sudah ada upaya melakukan advokasi diadakannya UU Perlindungan Saksi dan Korban. Kegiatan advokasi dilakukan, mulai dari melakukan berbagai workshop dan lokakarya nasional tingkat nasional, berdiskusi dengan pihak Pemerintah maupun DPR RI, sampai mengusulkan sebuah draft RUU Perlindungan Saksi dan Korban. Tapi tampaknya Negara belum (atau tidak?) menganggap isu ini sebagai isu Perlindungan Saksi dan Korban. Penerbitan PP No. 2/2002 juga terkesan hanya dilakukan untuk sekedar ‘pemanis’ saja karena PP bahkan baru keluar sebualan setelah Pengadilan HAM berjalan. Isi PP juga tidak dilengkapi dengan aturan mengenai prosedur teknis pemberian perlindungan dan/atau pengamanan saksi dan korban yang baku. Sejak bulan Februari 2002, Pengadilan HAM mulai beroperasi mengadili kasus-kasus kejahatan kemanusiaan di Timor Leste. Bulan Mei 2002, persidangan kasus-kasus ini sampai pada tahap pembuktian, yakni tahap mendengarkan keterangan saksi dan memeriksa alat bukti lainnya. Berdasarkan pengamatan, pengadilan sangat timpang akibat tidak mampu memberikan jaminan perlindungan saksi dan korban selama persidangan berlangsung. Sejak awal Juni 2002, setidaknya ada 3 orang saksi korban atau keluarga korban yang batal hadir dengan alasan tidak ada jaminan keamanan bagi para saksi. Jika pun ada yang hadir dalam persidangan, saksi mengalami kesulitan untuk memberikan keterangan dengan leluasa karena persidangan dihadiri oleh jajaran pimpinan teras TNI lengkap dengan seragam dan tongkat komandonya. Selain itu, pengunjung sidang sering berteriak-teriak mencemooh selama saksi memberikan keterangannya, sementara di luar pengadilan ada berbagai kelompok yang berunjuk rasa. Di sisi lain, keterbatasan saksi untuk berbicara dalam bahasa Indonesia juga tidak disikapi oleh Majelis Hakim dengan baik. Majelis Hakim yang diketuai oleh Cicut Sutiarso dalam perkara dengan terdakwa Herman Sedyono, dkk, misalnya, menolak penterjemah bahasa Tetun yang disediakan untuk membantu saksi Dominggas dos Santos Mauzinho hanya karena alasan sepele tidak ada surat pengantar dan sertifikat penterjemah. Alasan seperti ini rasanya adalah alasan yang dicari-cari saja. Apakah Majelis Hakim demikian tidak peka sehingga tidak mampu mengambil sebuah langkah berwibawa yang memungkinkan kebenaran materil muncul dalam perkara sesensitif kasus kejahatan kemanusiaan seperti ini? Dengan kata lain, apakah sebuah aturan normatif hukum acara sedemikian sakralnya sehingga dapat mengalahkan rasa keadilan?Buruknya kualitas perlindungan saksi dan korban, menurut saya, juga bersumber dari buruknya kualitas pemahaman Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum tentang peran sentral jabatannya untuk membantu mencari kebenaran materil. Dalam banyak kesempatan, Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum membiarkan saksi-saksi diintimidasi oleh penasihat hukum terdakwa melalui berbagai pertanyaan yang menyudutkan dan bukan dimaksudkan untuk tujuan mencari fakta dari peristiwa yang didakwakan. Menurut hemat saya, makna perlindungan saksi dan korban tidak hanya diperlukan pada saat sebelum dan sesudah saksi dan korban memberikan keterangannya di muka persidangan. Penting juga untuk memberikan rasa aman dan percaya diri pada saksi dan korban bahwa persidanganlah yang membutuhkan keterangannya untuk membantu Pengadilan HAM memperoleh kebenaran yang sebenar-benarnya; bukannya justru dimaksudkan untuk menghukum dan memberikan sanksi pada saksi karena memutuskan untuk memberikan keterangan sebagai saksi.
Bagaimana Sekarang?
Tantangan untuk menyediakan mekanisme peradilan bagi kejahatan HAM memang demikian besar dan rumit, apalagi jika Pemerintah sekarang ini kelihatan sekali tidak memiliki visi dan program yang jelas soal upaya mengadili kejahatan HAM di masa lalu. Kelemahan ini seringkali bukan karena tidak adanya perangkat hukum normatif , tetapi lebih disebabkan oleh tidak adanya komitmen tegas yang tergambar dari kebingungan-kebingungan akibat tarik-menarik kepentingan politik. Karenanya, menurut saya, yang pertama kali perlu dikerjakan adalah pembenahan di dalam lembaga-lembaga Negara –eksekutif, legislatif, yudikatif—untuk secara eksplisit menyatakan komitmennya soal urgensi menyediakan perangkat hukum yang pas, konkrit, dan tegas mengakomodir transitional justice. Untuk melakukan hal tersebut, maka Negara hendaknya berlapang dada untuk dapat menerima dan bekerja sama elemen masyarakat lain, seperti ornop dan ormas pemerhati masalah HAM, bahkan dengan komunitas keluarga korban.Secara taktis, hal tersebut harusnya bisa mulai dilaksanakan untuk membantu proses pengadilan kasus-kasus kejahatan kemanusiaan di Timor Leste yang masih berlangsung di Pengadilan HAM. Misalnya, jika kendala-kenala melaksanakan mekanisme perlindungan saksi dan korban adalah kendala teknis (mis: kendala biaya atau sumber daya manusia), seperti yang selalu diajukan oleh pihak Kejaksaan Agung RI, mengapa tidak secara responsif menerima tawaran berbagai ornop yang jauh-jauh hari sudah menyatakan kesiapan bekerja sama menyediakan sarana dan tenaga? Atau jika ada persoalan kurangnya pemahaman aparat penegak hukum soal advokasi kasus kejahatan HAM, mengapa tidak memanfaatkan tawaran berbagai ornop yang mengkhususkan pekerjaannya pada isu ini? Mekanisme kerjasama seperti ini sepertinya berkali-kali diajukan dalam berbagai diskusi, tapi tampaknya paradigma berpikir yang masih menjadikan ornop sebagai ‘musuh’ Pemerintah belum berubah. Mungkinkah hal itu dirubah mulai dari sekarang?Untuk kepentingan jangka panjang, diperlukan visi dan program yang jelas dari Pemerintah untuk menyediakan mekanisme perangkat hukum yang berwibawa untuk menegakkan HAM. Hal ini nampaknya bisa dimulai dengan meratifikasi berbagai konvensi HAM internasional, termasuk Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR). Selain itu, penting pula bagi Negara untuk segera meratifikasi Statuta Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Langkah-angkah seperti ini memang mungkin tidak berdampak langsung bagi perbaikan mekanisme domestik. Akan tetapi, sebagai bagian dari komunitas internasional yang beradab, langkah-langkah ini diharapkan dapat menjadi stimulan tersendiri bagi Negara untuk terus-menerus memperbaiki mekanisme perlindungan dan penjaminan HAM di dalam negeri, termasuk mengadakan perangkat hukum bagi lembaga perlindungan saksi dan korban yang lebih berwibawa dari sekedar PP yang tidak ada ‘isinya’.Jakarta, 1 Juli 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar